Rabu, 20 Maret 2013

Cara Pembayaran dengan L/C Deferred Payment


Tanya:
Selama ini kami melaksanakan ekspor barang dengan jaminan pembayaran berupa L/C, baik sightmaupun usance (pembayaran yang berjangka).

Adapun jangka waktu tenggang untuk pembayaran yang berjangka itu berkisar kurang lebih 180 hari setelah tanggal pengapalan barang atau tanggal B/L, dan selama ini tagihan ekspor atas dasarusance L/C itu biasanya kami diskonto-kan melalui bank kami, yaitu salah satu bank devisa di Jakarta.

Dalam pelaksanaannya, diskonto itu dilakukan oleh bank kami berdasarkan “akseptasi” (dengan tanda kutip) dari pihak issuing bank di luar negeri. Beberapa waktu belakangan ini kami menerima L/C yang mencantumkan cara pembayarannya dengan istilah ‘deferred payment’ dengan jangka waktu 180 hari setelah tanggal pengapalan.


Kemudian L/C itu ternyata tidak mensyaratkan adanya wesel (draft) sebagaimana biasanya L/C lainnya. Karena ini untuk pertama kalinya bagi kami menerima L/C dengan persyaratan demikian, maka kiranya dapat dijelaskan segala sesuatunya menyangkut L/C dengan syarat deferred payment ini, termasuk untung dan ruginya bagi kami sebagai eksportir.


M. Syafrie H., Jakarta


Jawab:
Sebelum menjawab pertanyaan anda, pertama-tama dijelaskan dahulu mengenai cara pembayaran dengan L/C berikut berbagai variasinya. Bila dilihat dari waktu pembayaran yang dihadapkan dengan waktu pengiriman barang, maka ‘terms of payment’ dari L/C dapat digolongkan dalam 3 klasifikasi, yaitu pembayaran yang dilaksanakan:
1. Di muka (pembayaran dilakukan sebelum pengiriman barang)
2. Tunai (pembayaran dilakukan saat pengiriman barang)
3. Berjangka (pembayaran dilakukan setelah pengiriman barang)

Untuk klasifikasi pada butir 1 contohnya adalah ‘red clause L/C’ yaitu beneficiary (eksportir/ seller) dapat menerima pembayaran baik sebagian maupun seluruhnya sebelum pengiriman barang.

Untuk klasifikasi pada butir 2 contohnya adalah ‘sight L/C’ yang pembayarannya dilaksanakan segera atas pengunjukan dokumen pengapalan yang sesuai dengan syarat L/C.

Terakhir pada butir 3 adalah ‘usance L/C’ yang pembayaran atas L/C tersebut dilaksanakan pada suatu jangka waktu tertentu setelah pengiriman barang, biasanya perhitungannya setelah tanggal pengapalan (yang diindikasikan oleh tanggal ‘on board’ pada B/L).

Adapun bentuk usance L/C ini antara lain adalah L/C yang settlement-nya ‘by acceptance’ atau ‘by deferred payment’, bahkan ada juga yang ‘by negotiation’ (walaupun sebenarnya bentuk ini diperuntukkan untuk sight L/C). Jadi jelaslah bahwa baik L/C yang settlement-nya ‘by acceptance’maupun ‘by deferred payment’ keduanya adalah usance L/C atau L/C yang pembayarannya berjangka.

Sedangkan perbedaan yang paling prinsip antara kedua jenis settlement L/C ini adalah bahwa pada L/C yang settlement-nya ‘by acceptance’ akan ada AKSEPTASI yang dilakukan terhadap wesel (draft) yang ditarik oleh beneficiary. Sementara pada L/C yang settlement-nya ‘by deferred payment’ tidak ada akseptasi dan oleh karenanya tidak ada wesel (draft) yang akan dimintakan oleh L/C.

Sehingga, dalam L/C yang settlement-nya ‘by deferred payment’ ini, setelah dokumen diterima olehissuing bank dan memenuhi persyaratan L/C, issuing bank akan memberitahukan bahwa pembayaran akan dilaksanakan pada saat yang telah ditetapkan dalam L/C, misalnya 180 hari setelah tanggal B/L.

Dalam praktik, pemberitahuan tersebut sering dianggap sebagai suatu ‘akseptasi’, walaupun sebenarnya hal itu bukan merupakan akseptasi. L/C deferred payment timbul dan mulai dipergunakan oleh bank di beberapa negara Eropa Barat pada akhir 1960-an dengan alasan menghindari biaya materai pada proses akseptasi yang cukup mahal.

Berdasarkan itu, International Chamber of Commerce (ICC) pada Uniform Custom Practice for Documentary Credit publikasi no. 400 (UCPDC 400) mulai menambahkan jenis settlement L/C yang semula hanya tiga yaitu ‘by payment’, ‘by acceptance’, dan ‘by negotiation’ menjadi empat dengan tambahan ‘by deferred payment’.

Dari berbagai kasus yang terjadi, memang dengan tidak adanya akseptasi pada L/C by deferredpayment ternyata menempatkan beneficiary (seller/ eksportir) pada posisi yang tidak sekuat pada L/C by acceptance, sehingga bila diperbolehkan untuk memilih, maka disarankan anda sebagai beneficiary menggunakan L/C by acceptance.

Demikian jawaban saya semoga memuaskan.


Diasuh oleh Saul Daniel Rumeser, Pengamat Ekspor-Impor.
Sumber: Bisnis Indonesia, 11 Januari 2004

Kamis, 14 Maret 2013

Peradilan Sebelum islam


Kelompok 3 Mengenai
Peradilan Sebelum Islam
ü  Peradilan Nabi Adam AS
ü  Peradilan Nabi Dawud n Nabi Sulaiman AS
ü  Peradilan Mesir Kuno
ü  Peradilan Arab Pra Islam

A.    Zaman nabi Adam AS
Pada masa Nabi Adam As, baik saat di surga atau seteliau beliau dan Siti Hawa turun ke bumi proses peradilannya lansung serta merta dari Allah SWT. hal ini dapat diketahui dari peristiwa pemakanan buah huldi yang kemudian berakibat pula bagi syaitan dengan imbalan kekekalan di neraka.
Di samping itu pula saat penerimaan pengorbanan oleh anak Nabi Adam As, Allah memberikan pelajaran yang dapat di ambil hikmahnya bahwa dunia serta isinya tidaklah ada apa-apanya jika terkait dengan perintah Allah SWT.

B.     Zaman Nabi Daud dan Sulaiaman
Nabi Daud yang merupakan ayah dari Nabi Sulaiman adalah seorang qadli pada kurun waktu tersebut.  Sewaktu  Nabi Daud menduduki tahta kerajaan Bani Israil Nabi Sulaiman selalu mendampinginnya dalam tiap-tiap sidang peradilan yang diadakan untuk menangani perkara-perkara perselisihan dan sengketa yang terjadi di dalam masyarakat. Ia memang sengaja dibawa oleh Daud untuk menghadiri sidang-sidang peradilan serta menyekutuinya di dalam menangani urusan-urusan kerajaan untuk melatihnya serta menyiapkannya sebagai putera mahkota yang akan menggantikanya memimpin kerajaan, bila tiba saatnya ia harus memenuhi panggilan Ilahi meninggalkan dunia yang fana ini.
Dan memang Sulaimanlah yang terpandai di antara sesama saudara yang bahkan lebih tua usia daripadanya.Suatu peristiwa yang menunjukkan kecerdasan dan ketajaman otaknya iaitu terjadi pada salah satu sidang peradilan yang ia turut menghadirinya. dalam persidangan itu dua orang datang mengadu meminta Nabi Daud mengadili perkara sengketa mereka, iaitu bahawa kebun tanaman salah seorang dari kedua lelaki itu telah dimasuki oleh kambing-kambing ternak kawannya di waktu malam yang mengakibatkan rusak binasanya perkarangannya yang sudah dirawatnya begitu lama sehingga mendekati masa menuainya. Dalam perkara sengketa tersebut, Daud memutuskan bahawa sebagai ganti rugi yang dideritai oleh pemilik kebun akibat pengrusakan kambing-kambing peliharaan tetangganya, maka pemilik kambing-kambing itu harus menyerahkan binatang peliharaannya kepada pemilik kebun sebagai ganti rugi yang disebabkan oleh kecuaiannya menjaga binatang ternakannya.
Akan tetapi Sulaiman yang mendengar keputusan itu yang dijatuhkan oleh ayahnya itu yang dirasa kurang tepat berkata kepada si ayah: "Wahai ayahku, menurut pertimbanganku keputusan itu sepatut berbunyi sedemikian : Kepada pemilik perkarangan yang telah binasa tanamannya diserahkanlah haiwan ternak jirannya untuk dipelihara, diambil hasilnya dan dimanfaatkan bagi keperluannya.
Sedang perkarangannya yang telah binasa itu diserahkan kepada tetangganya pemilik peternakan untuk dipugar dan dirawatnya sampai kembali kepada keadaan asalnya, kemudian masing-masing menerima kembali miliknya, sehingga dengan cara demikian masing-masing pihak tidak ada yang mendapat keuntungan atau kerugian lebih daripada yang sepatutnya." Kuputusan yang diusulkan oleh Sulaiman itu diterima baik oleh kedua orang yang menggugat dan digugat dan disambut oleh para orang yang menghadiri sidang dengan rasa kagum terhadap kecerdasan dan kepandaian Sulaiman yang walaupun masih muda usianya telah menunjukkan kematangan berfikir dan keberanian melahirkan pendapat walaupun tidak sesuai dengan pendapat ayahnya.
Peristiwa ini merupakan permulaan dari sejarah hidup Nabi Sulaiman yang penuh dengan mukjizat kenabian dan kurnia Allah yang dilimpahkan kepadanya dan kepada ayahnya Nabi Daud.
C.    Peradilan Mesir Kuno
Apa pun keadaannya, namun yang jelas, bahwa sejarah peradilan telah dimulai sejak masa-masa silam, sedang hal yang teristimewa yang menjadi perhatian bangsa-bangsa ini tentang peradilan ada dua macam:
-          Kemampuan qadli, dan kebaikan akhlaknya, maka tidak akan seseorang diangkat sebagai qadli apabila ia tidak memiliki kemampuan bidang ini, oleh karena itu akan diperhatikan pula tentang kecerdasannya, kecerdikannya, dan keluasan ilmunya, demikian juga tentang segi-segi ketenangan hatinya, kebersihan jiwanya, dan keluhuran budinya.
-          Bahwa qadli harus diliputi situasi yang dapat menjamin kebebasan dirinya dalam melaksanakan tugasnya yang suci, maka semakin tinggi kemajuan bangsa, maka semakin semakin besar pula jaminan-jaminan tersebut dapat diperoleh oleh pra qadli.

D.    Peradilan Arab Pra Islam
Bangsa arab sebelum islam telah memiliki qadli untuk menyelesaikan segala sengketa mereka, hanya saja mereka belum memiliki undang-undang tertulis yang dapat dijadikan pegangan para qadli. Sedang mereka memutuskan hukum-hukum mereka dengan cara menyesuaikan dengan adat kebiasaan mereka yang turun-temurun, dan dari pendapat kepala-kepala suku, atau dari orang-orang yang mereka pandang arif yang dikenal sebagai orang-orang yang jitu pendapatnya, dan menyita hak-hak dengan firasat dan tanda-tanda, sedang kecerdasan ahli-ahli hukum mereka menyebabkan mereka lebih mendahulukan memutuskan hukum dengan firasat dan tanda-tanda daripada dengan alat-alat bukti lainya seperti saksi atau pengakuan.











Kelompok 3 Mengenai
Peradilan Zaman Umayah
ü  Rekonsiliasi Umar bin Abd. Aziz
ü  Lembaga – Lembaga Hukumnya
ü  Qadli dan Tugas – Tugas Tambahannya

A.      Rekonsiliasi  Umar bin Abdul al-Aziz
Dalam masa pemerintahannya Umar Bin Abdul Aziz melakukan perbaikan dalam kehidupan negara dengan dimulai dari dirinya sendiri, kemudian melanjutkannya pada keluarga intinya dan selanjutnya pada keluarga istana yang lebih besar.
Maka langkah pertama yang harus ia lakukan adalah membersihkan dirinya sendiri, keluarga dan istana kerajaan. Dengan tekad itulah ia memulai sebuah reformasi besar yang abadi dalam sejarah
Hal ini dapat diketahui dengan berdasarkan suatu crita bahwasannya Umarpada waktu itu  menyerahkan semua tanah dan harta yang dimiliki ke baitul mal karena diyakini harta yang diwarisi tersebut bukan haknya tetapi hak rakyat. Begitu juga sikap ini diberlakukukan pada istrinya agar memilih untuk merngikuti jalan umar atau meningggalkannya untuk kembali pada keluarganya, karena umar menyadari bahwa istrinya adalah orang yang tidak pernah merasakan kesengsaraan dan kekurangan harta, akan tetapi fatimah binti malik memilih untuk tetap mendampingi suaminya sampai akhir hayat.
B.       Lembaga – Lembaga Hukumnya
Pada masa dinasti umaiyah, al qadha dengan Nizham al qaadhaiy(organisasai kehakiman) , dimana kekuaasan pengadilan telah dipisahkan dari kekuaasan politik : Ada dua cirri khas bentuk peradilan pada masa bani umaiyah, yaitu :
ü  Hakim memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya sendiri, dalam hal-hal yang tidak ada nash atau ijma’. Ketika itu madzab belum lahir dan belum menjadi pengikat bagi keputusan-keputusan haklm. Pada waktu itu hakim hanya berpedoman kepada al quran dan As-sunnah.
ü  Lembaga peradilan pada masa itu belum dipengaruhi oleh penguasa. Hakim memiliki hak otonom yang sempurna, tidak di pengaruhi oleh keinginan-keinginan penguasa. Keputusan mereka tidak hanya berlaku pada rakyat biasa, tetapi juga pada penguasa-penguasa sendiri. Dalam hal itu, khalifah selalu mengawasi gerak-gerik hakim dan memecat hakim yang menyeleweng dari garis yang ditentukan.

C.      Para Tokoh Qadli dan Tugasnya
1.         Al-Qadhi Asisabi
Nama lengkapnya adalah Amir bin surah bin asy-sya’bi. Beliau merupakan seorang ulam tabi’in terkenal, lahir tahun 17 H. beliau adalah seorang hakim di kufah menggantikan Suraih. Beliau banyak menerima hadis dari Abu HUrairah, Ibn Abbas, isyah dan Ibnu umar. Dia juga adalah ahli fikih termasuk guru tertua Imam abu Hanifah.
2.         Al-Qadhi ijas
Nama lengkapnya adalah Abu Wailah Ijas bin MUawiyah bin Qurrah, merupakan qadhi dari khalifah bani umaiyah yang paling adil, cerdas, dan paling tepat firasatnya. Beliau hidup di masa pemerintahan khalifah Umar bin abdul aziz.
3.         Salim bin Ataz
Seorang hakim di daerah Mesir yang terkenal piawai dalam menyelesaikan perkara-perkara dan dialah permulaan hakim yang mencatat keputusannya. Dan menyusun yurisprudensi pada masa pemerintahan muawiyah.
Adapun instansi dan tugas kehakiman di masa bani umaiyah dapat dikategorikan menjadi tiga macam yaitu :
ü  Al Qadha merupakan tugas qadhi dalam menyelesaikan perkara-perkar ayang berhubungan dengan agama. Di samping itu badan ini juga mengatur institusi wakaf, harta anak yatim dan orang yang cacat mental.
ü  Al Hisbah merupakan tugas al muhtasib (kepala hisbah) dalam menyelesaikan perkar-perkara umum dan soal-saoal pidana yang memerlukan tindakan cepat. Pada masa Rasulullah saw, peradilan hisbah ini sudah ada.
ü  Al Nadhyar fi al-Mazhalim merupakan mahkamah tinggi atau mahkamah banding dari mahkamah di bawahnya( al qadha dan al hisbah). Lembaga ini juga dapat mengadili para hakim dan pembesar yang berbuat salah.
Kelompok 4 Mengenai
Peradilan Zaman Abbasiyah
ü  Pembaharuan hukumnya
ü  Qadli qudhah, fungsi dan tugasnya
ü  Tokoh-tokohnya

A.    Pembaharuan Hukum
Pada masa Nabi perkara itu dengan mudah bisa diputuskan oleh beliau karena memang sumber hokum berasal dari beliau, baik Al-Qur’an maupun Hadis, maka pada masa dinasti abbasiyah sumber hokum lebih bervariasi. Disamping Al-qur’an dan Hadis sumber hokum yang banyak digunakan oleh hakim kala itu adalah yurisprudensi atau preseden hokum yang ditinggalkan oleh hakim-hakim sebelum mereka.
Adapun sumber hukum yang digunakan oleh para hakim dan ulama’ adalah :
a.       Kitabullah ( Al-Qur’an )
b.      Sunnah Mutawatirah
c.       Sunnah yang tidak mutawatir (ahad) yang diterima baik oleh sahabat
d.      Dan fatwa-fatwa Fuqaha’ sahabat.
Keputusan-keputusan itu merupakan warisan yang kaya dan bisa dijadikan sebagai rujuka bagi hakim-hakim masa Dinasti Abbasiyah.
B.     Qodlil qudhah  dan Fungsinya
Qadhil Qudhah ini berkedudukan di ibukota negara dan dialah yang mengangkat hakim-hakim daerah. Qadhil Qudhah yang pertama adalah Al-Qadhi Abu Yusuf Yaqub bin Ibrahim Al-Anshari, Sahabat dekat dan pelanjut mazhab Imam Abu Hanifah dan pengarang kitab Al-Kharaj. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid yang memang sangat memuliakan Abu Yusuf dan sangat memperhatikan hakim-hakim serta gerak-gerik mereka.
Selain itu dalam sejarah islam yang biasa menduduki jabatan Hakim Agung adalah golongan ulama yang telah lama mengabdi dibidang yurisdiksi islam dan merupkan tokoh yang teguh pendirian .  adapun fungsi qadhi al-qudha adalah sebagai berikut:
·            Al-Qadha adalah lembaga yang berfungsi untuk memberi penerangan dan pembinaan hokum, menyelesaikan perkara sengketa, perselisihan dan masalah wakaf.
·             Al- Hisbah adalah suatu badan pelaksanaan kekuasaan kehakiman dalam islam yang berfungsi untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kezaliman. Tugasnya menangani tugas criminal yang penyelesainnya perlu segera, mengawasi hokum, mengatur ketertiban umum, mencegah terjadinya pelanggaran hak tetangga serta menghukum orang-orang yang mempermainkan hukum syara’
·            Al-mazhalim adalah slah satu komponen peradilan yang berdiri sendiri dan merupakan peradilan yang berfungsi untuk mengurusi penyelasaian perkara perselisihan yang terjadi antara rakyat dan Negara.
·            Al-mahkamah Al-‘Askariyah, selain tiga bidang peradilan diatas pemerintahan bani Abbas juga dibentuk mahkamah/ peradilan militer (Al-mahkamah Al-‘Askariyah ) dengan hakimnya adalah qadhi al-‘askar atau qadhi al-jund. Posisi ini sudah ada sejak zaman sultan Shalahuddin Yusuf bin Ayub. Tugasnya adalah menghadiri siding-sidang di Dar al-Adl, terutama ketika persidangan tersebut menyangut anggota militer atau tentara.
C.    Tokoh-tokoh Qadhi
Beberapa tokoh Qadhi yang terkenal pada masa Bani Abbasiyah diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Abu yusuf, ya’qub bin Ibrahim ( lahir tahun 131 H/ 731 M – wafat taun 182 H / 789 M ) beliau adalah qadhi qudha Harun al-rasyid
2.      Yahya bin Aksam ( lahir tahun 159 H/ 755 M – wafat tahun 242 H / 857 M ) beliau adalah qadhi qudha al-Makmum
3.      Al-‘izz bin Abd. Al-salam ( lahir tahun 578 H/ 1181 M – wafat tahun 660H / 1262 M ) beliau adalah qadhi mesir
4.      Ibnu Daqiqi ‘Ied ( lahir tahun 625H/ 1228 M – wafat tahun 702H/1302M ) beliau adalah qadhi Mesir dan Shai’id.




Kelompok 5 Mengenai
Pembinaan Peradilan dalam slam
ü  Syarat – Syarat Qadli
ü  Pengangkatan Qadli
ü  Pemberhentian Qadli
ü  Waktu dan Tempat Sidang
A.    Syarat Bagi Qadli
Pada awal dari perjalanan sistem peradilan yang mulai berkembang dirasakan perlu sekali akan adanya bmbingan dan arahan bagi para qadli, baik dari segi sistematika peradilan maupun asas apa saja yang mempengaruhi dapat terlaksananya cita-cita perwujudan suatu lenbaga peradilan.
Tidak hanya hal itu, dalam menjadi seoraang qadli juga tidak lepas denga syarat dan aturang yang berguna seebagaipenunjang tercapainya peradilan yang benar dan adil. Oleh karena itu, para calon qadli harusnya memenuhi beberapa syarat, agar dia dapat memenuhi sarat tersebut teentunya mereka haruslah tau kan sumber-sumber hukum dan beberapa hal terkait.
Mereka pun dalam indivinya harusnya seseorang yang adil dan berjiwa pantang menyerah dan sangat luwes akan kondisi sosial yan terbaru.
B.     Pengangkatan Qodli
Menjadi keharusan bahwa setiap masyarakat memerlukan penguasa yang menertibkan mereka agar mereka dan memelihara kemaslahatan- maslahatan mereka. Dan pengangkatan penguasa pemerintahan umm atau wakilnya, terhadap orang yang telah memenuhi syarat keahlian dan kepatutan,untuk jabatan qadli ini tidak  menghalanginya (qadli) untuk memeriksa pihak- pihak yang bersengketa dan boleh pengangkatan qodli itu oleh penguasa pemerintahan yang adil maupun yang curang, apabila masih mungkin memutuskan perkaran dengan benar, dan penguasa  itu tida ikut mencampuri urusan peradialan.
C.    Pemberhentian Qadli
Di samping dapat mengangkat qadli,Pemerintah  pun mempunyai hak memecat qadli apabila ada sebab yang menghendakinya, dan tida dibenarkan tindaan pemecatan tanpa ada sebab, demikian menurut madzhab syafi’I, karena hal itu dikaitkan dengan kemaslahatan kaum muslimin dan hak umat.
Menurut pendapat jumhur, bahwa qadli yang mengundurkan diri itu tidak terhenti kelangsunngan tugasnya sampai pejabat baru, karna dalam hal ini tidak seorang pun membatalan suatu hak, dan menurut satu pendapat dikatakan, bahwa qadli yang demikian itu belum terlepas selama pengunduran dirinya belum diketahui oleh pihak yang mengangkatnya, dan apabila dikiaskan oleh pendapat abu yusuf, maka sebenarnya ia belum terlepas sampai ia menerima surat peberhentian,dan inilah yang sesuai dengan apa yang berjalan sekarang.
Dan atas dasar itu, maka selama surat pemecatan itu belum disampaikan, maka segala putusannya masih tetap sah demikian juga segala tetap dapat dilaksanaan selama secara resmi  pengunduran dirinya itu belum diterma. Dan kalau seorang qadli meninggal dunia atau dipecat oleh yang tidak berhak memecatnya maka tidak terpecat dan tidak diperlukan pengangkatan baru, sebab pada dasarnya ia melaksanakan kekuasaan umum di bidang peradilan dari umat dan mengadili atas namanya.
D.    Ketentuan Tempat
Telah kita ketahui bersama bahwasannya ketentuanakan  mengadili ditempat yang ditentukan seperti kota tertentu atau dibagian tertentu dikota itu, maka wewenangnya  terbatas pada tempat yang telah ditentukan itu dan tidak dibenarkan mengadili ditempat lain, dan wewenangnya terbatas hanya mengadili orang-orang yang tinggal ditempat yang ditentukan itu, selain pendatang, atau orang yang tinggal ditempat itu dan (juga) pendatang-pendatangnya.
Namun qadli ini dapat dikecualikan, seperti kalau penggungat ini ada adalah seorang istri yang menuntut nafkah atau pemelihara anak sebagaimana yang disebutkan dalam nota gugatan, maka dalam hal seperti ini ia mempunyai hak mengajukan gugatannya kepengadilan yang diwilayahi domisilinya, atau yang menjadi pokok persengketaan itu adalah sebidang tanah, maka dalam hal seperti ini pengadilan yang berwewenang adalah pengadilan yang mewilayahi daerah dimana tanah itu berada.



Kelompok 6 Mengenai
Hukum Materil n Hukum Formil Peradilan Islam
ü  Hukum Materil Pidana Islam
ü  Hukum Materil Perdata Islam
ü  Hukum Acara Peradilan Islam

A.    Pengertian Hukum Materiil
Hukum materiil adalah sumber hukum yang menentukan isi suatu peraturan atau kaidah hukum yang mengikat semua orang yang berkenaan dengan ketentuan dilakukan atau tidaknya suatu perbuatan hokum. Sebab aturan hukum materiil mempunyai dua segi yang mengikat yaitu suatu kewajiban dan adanya suatu larangan tertentu.
Hukum materiil peradilan Islam sendiri  sudah ada pada zaman dahulu, hal ini bisa dilihat bahwa para sahabat ketika dihadapkan suatu masalah atau perkara atau juga dimohon memberikan fatwa hukum, maka mereka mencari ketentuan hukumnya di dalam Al-Qur’an, apabila mereka tidak menemukan di dalamnya, mereka mencari disunnah Rasulullah Saw, bila tidak ditemukan juga maka mereka bertanya pada sahabat yang lain apakah diantara mereka ada yang mengetahui hukum perkara seperti itu di dalam sunnah.
B.     Hukum Formil (Hukum Acara) Peradilan Islam
Hukum adanya peraturan perundang-undangan baik sebagai wadah maupun proses. Hukum formil juga  bisa disebut hukum acara. Adapun hukum acara peradilan islam yang pokok itu meliputi :
1.         Macam-macam dakwaan (gugatan)
Dalam pengertiannya dakwaan adalah pengaduan yang dapat diterima hakim dengan maksud untuk menuntut suatu hak pada pihak yang lain. Dalam prosesnya sendiri ketika pihak yang menggugat membatalkan gugatannya maka hakim  tidak dapat mengharuskan dia meneruskan gugatannya.
Orang yang tergugat  sendiri adalah orang yang disandarkan kepadanya suatu tuntutan hak yang dihadapkan atasnya. Adapun rukun pokok dari gugatan adalah Adanya sebab dan hak yang mengakibatkannya dapat mengajukan gugatan. Sedang syarat sah dakwaan  adalah adanya Si penggugat dan tergugat, keduanya berakal sehat dan adanya obyek perkara.
Mekanismenya sendiri (saat hukum acara) Si tergugat wajib menjawab gugatan yang dihadapkan kepadanya lantaran menghilangkan persengketaan dan pertengkaran adalah suatu hal yang wajib. Hal ini tidak dapat diselesaikan tanpa ada jawaban dari si tergugat. 
Jika dia membenarkan dakwaan, maka diperintahkanlah dia memenuhi tuntutan si penggugat karena dianggap benar .akan tetapi  jika dia menolak, maka jika si penggugat mempunyai bukti dan hendaklah membuktikan kebenaran dakwaannya.
Hal-hal yang menyebabkan ditolaknya dakwaan apabila si mudda’i ‘alaih terhindar dari tuduhan. Putusan hakim nya adalah mudhbir (menampakkan hukum), bukan mutsbit  (menetapkan hukuman).
2.         Prinsip-prinsip umum dalam pembuktian
Keadilan sangat memerlukan pembuktian. Yang dimaksud dengan pembuktian adalah memberikan keterangan dan dalil hingga dapat meyakinkan.  Jelas bahwa tugas untuk melakukan pembuktian adalah tanggungan si pegguagat, sebabnya  dialah awal dari segala urusan itu.  Karena itu wajib atas orang yang mengemukakan gugatan, membuktikan kebenaran gugatannya.
Ø  Cara-cara pembuktian yang pokok menurut para fuqaha’ ada dua cara :
-          Gugatan (dakwa) ialah tuduhan yang dapat diterima oleh hakim untuk menuntut sesuatu hak pada orang lain, atau untuk membela haknya sendiri.
-          Bukti adalah sesuatu yang dapat meyakinkan atau dapat memberikan keterangan.


Kelompok 7 Mengenai
Lembaga Tahkim dan Futya
ü  Pengertian dan Syarat – Syaratnya
ü  Fungsi dan Wewenangnya
ü  Kekuatan Hukumnya

A.    Pengertian Lembaga Al-Tahkim dan Futya
Secara umum, tahkim memiliki pengertian yang sama dengan arbitrase yang dikenal dewasa ini yakni pengangkatan seseorang atau lebih sebagai juru damai oleh dua orang yang berselisih atau lebih guna menyelesaikan perselisihan mereka secara damai, sehingga orang yang menyelesaikan disebut dengan “Hakam”.
Dari segi kedudukannya, tahkim lebih rendah daripada lembaga peradilan. Sehingga hukum yang diberikan oleh muhakkam hanya berlaku bagi orang-orang yang menerima putusannya, sedang putusan hakim harus berlaku walaupun tidak diterima oleh orang yang bersangkutan.
Sedangkan lembaga futya adalah petuah, penasehat, jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum. Pihak yang meminta fatwa tesebut bisa bersifat pribadi, lembaga, maupun kelompok masyarakat. Pihak yang memberi fatwa dalam istilah Ushul Fiqh disebut Mufti dan pihak yang meminita fatwa disebut al-mustafti.

B.     Tugas dan Fungsi ke Duanya
Tugas dan fungsi lembaga tahkim yaitu menyelesaikan sengketa dengan landasan perdamaian sebagai hasil ahirnya. Dalam menyelesaikan sengketa, Para hakim berusaha maksimal mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa dengan menggunakan metode-metode yang lazim dalam bidang agama dan psikologis kemasyarakatan sehingga ditemukan jalan keluar yang menjadi kesepatan di antara mereka.
Sedangkan tugas dan fungsi lembaga fatwa adalah memberi jawaban hukum atas pertanyaan dan persoalan yang menyangkut masalah hukum yang tidak diketemukan dalam al-Quran maupun sunnah atau memberi penegasan kembali akan kedudukan suatu persoalan menurut ajaran hukum Islam.

C.    Kewenangan ke Duanya
Ø  Lembaga Tahkim
-          Memutuskan semua perkara kecuali nikah, li’an qodi’at dan qishas.
-          Memutuskan perkara hanya dalam bidang perdata harta benda, bukan pidana li’an, qdzof, talak, atau memutuskan peraturan.
Ø  Lembaga futya
-          Kewenangan lembaga fatwa yaitu memutuskan perkara hanya  menyangkut hal yang sudah terjadi.
-          Dalam hal tertentu, lembaga tersebut harus memberikan pernytaan mengenai hukum halal dan haramnya sesuatu.
D.    Kekuatan Hukum
·      Lembaga Tahkim
-          Keputusan hakim hanya berlaku kepada pihak yang mengajukan sengketa.
-          Pihak perkara dapat menolak sengketa, sebelum putusan dikeluarkan hakim.
-          Para ahli hukum Islam dikalangan madzhabiyah sepakat bahwa segala apa yang menjadi keputusan hakam langsung mengikat kepada pihak-pihak yang bersengketa, tanpa lebih dahulu meminta persetujuan kedua belah pihak.
-          Pihak berperkara dapat menolak putusan dan mengalihkan kepada peradilan Islam Qodho’.
·      Lembaga Futya
-          Fatwa yang diberikan sifatnya mengikat bagi pihak yang meminta fatwa.
-          Fatwa yang diberikan sifatnya tidak mengikat, sungguh demikian, fatwa menjadi bahan pertimbangan yang penting bagi umat Islam di manapun berada.







Kelompok 8 Mengenai
Wilayah al Mudzallim dan al Hisbah
ü  Pengertiannya
ü  Sejarahnya
ü  Fungsi dan Wewenangnya
ü  Kekuatan Hukumnya

A.    Pengertian Wilayah Mazhalim dan Wilayah Hisbah
Wilayah Mazhalim merupakan suatu komponen dari peradilan yang berdiri sendiri dan merupakan bentuk peradilan yang menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara rakyat dan Negara.
Wilayah Mazhalim sendiri dalam pelaksanaan sidangnya selalu diselanggarakan di masjid dan haruslah dihadiri oleh kelima pihak, adapun kelimanya adalah :
-       Para pembela dan pembantu yang berusaha penyimpangan-penyimpangan hukum.
-       Para hakim berlaku dengan seadil-adilnya.
-       Adanya para fuqaha’ sebagai rujukan bila ditemukan masalah yang sukar.
-       Adanya katib yang mencatat hal yang penting dalam persidangan.
-       Adanya para saksi guna menyaksikan bahwa keputusan yang diambil oleh parahakim itu adil benar dan adil.
Wilayah Hisbah aedalah salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman dalam islam yang bertugas untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kemudzaratan. Al Mawardi sendiri mendifinisikan al hisbah sebagai berikut “’amar bil ma’ruf idza zahar tarkah wa nahy ‘anil munkar idza zahar fi’lah”.
B.     Sejarah Wilayah Madzalim dan Wilayah Hisbah
Peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW  ke Madinah di tandai dengan suatu kebijakan Nabi mengenai beberapa hal yang terkait dengan berlansungnya kehidupan dari beberapa etnis dan hak individunya. adapun kelimanya (shahifah al-Rasul) adalah :
-       Pernyataan persatuan antar Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang terlibat dalam satu perjuangan.
-       Orang – orang yang dzalim dan mengadakan permusuhan di antara orang mu’min harus diatasi walaupun keluarga sendiri.
-       Orang yahudi dan orang islam saling membantu dalam menghadapi musuh dan bebas menjalankan agama masing-masing.
-       Orang yang bertetanggaseperti satu jiwa dan tidak boleh saling berbuat dosa.
-       Orang-orang yang bermukim di Madinah berstatus aman kecuali yang berlaku zalim dan dosa.
Setelah wafatnya Rasulullah SAW dan berganti dengan masa ke-khalifaan, Wilayah Madzalim dan Wilayah Hisbah dipegang sendiri oleh khalifah, baik dalam urusan teknisnya maupun pembekalan pada tiap Qadhi nya. Akan tetapi pada masa ke-khalifaan Mu’awiyah memiliki keistimewaan karena terpish dengan pemerintahan.
Setelah ke-khalifaan mu’awiyah di gantikan dengan daulah abasyiah umat islam banyak mengalami kemajuan termasuk dalam segi peradilan. Dalam masa ini pemisahan peradilan dan pemerintahan sudah mencakup pada sudah dipimpinnya lembaga peradilan tersebut oleh Qadhi al-Qudhah yang berkedudukan di ibu kota yang bertugas mengawasi para qadhi di semua daerah kekuasaan islam.
C.    Wewenang Wilayah Madzalim dan Wilayah Hisbah
Pengadilan Wilayah Madzalim menyelesaikan perkara sogok-menyogok atau lebih dikenal dengan perkara korupsi. Dalam wilayah ini mereka berusaha menyelesaikan perkara yang tidak bisa dituntaskan oleh hakim biasa, hal ini dikarenakan kasus tersebut bersangkut paut dengan para pejabat pemerintahan.
Adapun dalam wilayah madzalim Imam Mawardi mengatakan dalam “al-ahkam al-shulthoniyyah” bahwasannya tugasnya adalah melaksanakan ‘amr ma’ruf nahy munkar serta menjadikan kemaslahatan pada masarakat.
Walau kadang wilayah hisbah ini sistematisnya sangat mirip dengan lembaga pemerintahan, akan tetapi hanya bertugas mengawasi hal yang sudah Nampak pada masarakat berkenaan dengan ‘amr ma’ruf nahy munkar. Di sampan itu, wilayah hisbah juga berhak memberikan hukuman secara lansung kepada orang yang melanggar syari’at yang hukumannya hanya berupa ta’zir  yang ditentukan oleh hakimnya dan diluar ketentuan hukum syara’.



Kelompok 10 Mengenai
Putusan Hakim
ü  Putusan Hakim Mujtahid
ü  Putusan Hakim Muttabi’
ü  Putusan Hakim Muqallid

A.    Putusan Hakim
Yang dimaksud putusan disini adalah apa yang ditetapkan oleh hakim atas suatu perkara  dengan cara istimbath baik dengan jalan ijtihad ataupun taqlid kepada pendapat madzhab tertentu. Adapun landasan yang harus dipergunakan sebagai dasar putusan – putusan hakim adalah nash al qur’an dan hadis dan juga ijma’ para ‘ulama’.
B.     Putusan Hakim Mujtahid
Mujtahid yaitu orang yang dapat mengambil kesimpulan hukum – hukum dari dalil – dalilnya, dan memiliki keahlian dalam hal itu. Mujtahid mutlak disyaratkan harus cerdas, baligh, dan adil, mengetahui hukum – hukum yang ditetapkan oleh Al Qur’an dan As Sunnah. Hal itu juga disertai dengan pengetahuan hukum terkait dengan kesepakatan ‘ulama’ juga, baik dari hal yang cacat hukum ataupun hal-hal yang mendasari pemutusan suatu perkara yang sesuai dengan syar’i.
Adapun jenis Mujtahid adalah sebagai berikut :
1.          Mujtahid Mutlaq : yaitu para Khulafaur Rasyidin.
2.          Mujtahid Mustaqil : yaitu para imam mazhab fiqih yang muktabar.
3.         Mujtahid fil Mazhab : yaitu lebih banyak mengikuti salah satu imam mazhab tapi dalam beberapa masalah pokok berbeda pendapat dengan imamnya. Contohnya Abu Yusuf, Muhamad Al Hasan dari mazhab hanafi, Al Muzany dari mazhab Syafi’i.
4.         Mujtahid fil Masa’il : yaitu mempunyai ijtihad sendiri dalam beberapa masalah cabang.
5.         Mujtahid Muqaiyad : yaitu tidak mengeluarkan ijtihad sendiri, kecuali terhadap masalah-masalah yang belum dibahas oleh imam mazhab sebelumnya.

C.    Putusan Hakim Muttabi’
Ittiba’ adalah “Mengambil suatu pendapat orang lain dengan mengetahui dasar atau dalilnya, sebab pada dasarnya pengambilan itu dari dalil dan bukan dari mujtahid itu sendiri. Karena mengetahui dalil itu merupakan tuntutan syarat ijtihad, sebab mengetahui benarnya dalil itu berkaitan juga dengan pengetahuan tentang dalil yang menentangnya.
Lebih jelasnya lagi bahwa hakim muttabi’ adalah seorang hakim yang memutuskan suatu perkara dengan berlandaskan pada mengambil suatu pendapat orang lain dengan mengetahui dasar atau dalilnya, karena mengetahui dalil itu merupakan tuntutan syarat ijtihad.

D.    Putusan Hakim Muqallid
Taqlid secara bahasa diambil dari kata yg bermakna mengikatkan sesuatu di leher. Jadi orang yg taqlid kepada seorang tokoh ibarat diberi tali yg mengikat leher utk ditarik seakan-akan hewan ternak. Sedangkan menurut istilah taqlid arti beramal dgn pendapat seseorang atau golongan tanpa didasari oleh dalil atau hujjah yg jelas. Dari pengertian ini jelaslah bahwa taqlid bukanlah ilmu dan ini hanyalah kebiasaan orang yg awam dan jahil. Dan Allah subhanahu wa ta’ala telah mencela sikap taqlid ini dalam beberapa tempat dalam Al Qur’an.
Mukallaf yang memiilih taqlid sebagai sumber dan cara melaksanakan taklid disebut muqallid. Sedangkan mukallaf yang memilih ijtihad sebagai sumber dan cara melaksanakan taklid disebut mujtahid. Mujtahid yang dijadikan sebagai rujukan disebut dengan muqallad atau marja’ taqlid. Muqallid memikul tanggungjawab-tanggungjawab sebagai berikut:
Menjadikan “bertaqlid” sebagai isu di luar masalah-masalah fatwa. Dengan kata lain, bagi muqallid pemula, taqlid kepada seorang mujtahid tidak boleh didasarkan pada taqlid akan tetapi harus dengan ijtihad.




Kelompok 11 Mengenai
Hakim Untuk Non Muslim
ü  Hakim bagi non muslim
ü  Hakim non muslim
ü  Undang-undag bagi non muslim

A.    Hukum – Hukum Peradilan Untuk Golongan Non Muslim
Orang – orang yang ghairu muslim (non muslim) di negara Islam ada dua macam yaitu dzimmi dan musta’man.
Dzimmi yaitu mereka yang menikmati hidup di negara Islam sebagai sebagai rakyat yang non muslim, maka mereka itu adalah termasuk bagian negara dalam Negara Islam. Mereka mempunyai hak – hak yang sama dengan warga negara lain yang muslim. Sehingga menurut jumhur para ulama tidak boleh diangkat sebagai hakim secara mutlak dan putusan hukum antara orang dzimmi dengan dzimmi lainnya dalam kasus – kasus yang berkaitan dengan muamalat mereka dan perkawinan mereka dengan cara tahkim dan bukan qadla’. Maka tidak kita temukan adanya keterangan bahwa orang dzimmi di masa Rasul saw., masa Sahabat, sampai masa – masa ada yang menduduki jabatan qadla’, tetapi hakim – hakim secara keseluruhannya adalah terdiri dari orang – orang Islam dan bagi orang dzimmi tidak ada penugasan tentang jabatan qadla’ dalam urusan khusus untuk mereka.
Jelas pula, bahwa orang dzimmi tidak dapat menjadi hakim bagi kaum muslimin, karena ketiadaan hak menguasai terhadap kaum muslimin, sedang keahlian mengadili itu berkaitan dengan menjadi saksi menurut golongan Hanafi. Menurut kebanyakan ahli hukum Islam dalam Hukum Beracara peradilan Islam bahwa seorang saksi itu mutlak harus beragama Islam kecuali dalam masalah wasiat di tengah perjalanan. Sedangkan pada Hukum Acara Peradilan Umum tidak di tentukan mengenai perbedaan agama tersebut Salah satu alat pembuktian dalam Hukum Acara adalah keterangan saksi, keterangan saksi di perlukan untuk menguatkan suatu gugatan untuk menghasilkan putusan yang tepat. Keterangan saksi membutuhkan aturan yang tetap khususnya bagi Peradilan Agama, sehingga tidak terjadi perbedaan dalam memutuskan perkara oleh hakim.

B.     Undang – undang yang wajib diterapkan
Undang – undang yang wajib diterapkan dan dijadikan dasar putusan adalah syariat Islam, baik persengketaan itu terjadi antara orang – orang dzimmi sendiri atau salah satu pihak dari mereka, karena firman Allah yang berbunyi :
فا حكم بينهم بما انزل الله
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan.”
Sedangkan yang lain – lainnya dari ayat – ayat yang menunjukkan wajibnya menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah.
Dan firman-Nya :
وان احكم بينهم بما انزل لله ولا تتبيع اهوا ءهم واحذ ر هم ان يفتنو ك عن بعض ما انزل الله
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka, menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati – hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang diturunkan Allah kepadamu”.














Kelompok 12 Mengenai
Peradilan Islam di Indonesia

ü  Perundang-undangan Islam di Indonesia
ü  Kompetensi PTUN Absolut dan Relatif
ü  Hukum Acara PA, PTA dan MA

A.    Perundang-undangan Islam di Indonesia
Pengadilan Agama merupakan  salah satu dari empat jenis Pengadilan di Indonesia yang semuanya bermuara ke Mahkamah Agung. Peradilan Agama adalah peradilan untuk orang yang beragama Islam  mengenai masalah tertentu . Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang (a) perkawinan; (b) kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; (c) wakaf dan shadaqah (Pasal 49).
Dalam UU No. 3/2006 yang merupakan revisi UU No. 7/1986, kewenangan PA menjadi tujuh bidang, yaitu (1) perkawinan, (2) Kewarisan, (3) wakaf, (4) hibah, (5) shadaqah, (6) zakat, dan (7) ekonomi syariah . Pasal 10 ayat (2) UU No. 4 Tabun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa "Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam Lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara."
Jauh sebelum ini, yaitu tanggal l0 Juni 1991, telah terbit Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI) berdasarkan Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991. KHI terdiri dari tiga buku tentang Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, dan Hukum Perwakafan. Khusus menssgenai Buku III telah disempurnakan menjadi UU No. UU No. 41/2004 tentang Wakaf. Buku I dan Buku II KHI juga sedang mengalami revisi dan telah menjadi RUU dengan nama RUU Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan, dan RUU Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Kewarisan, dan cepat atau lambat kedua RUU ini tentu juga akan menjadi UU. Hukum Islam dalam KHI ini tidak lain adalah kompilasi syariat Islam dalam bidang perkawinan, kewarisan dan kewakafan. Sejak diterbitkan, KHI telah digunakan sebagai hukum materiil di Peradilan Agama (PA) yang merupakan Peradilan Syariat Islam di Indonesia.

B.     Kompetensi PTUN Absolut dan Relatif
Peradilan Tata Usaha Negara sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman,merupakan lingkungan peradilan yang berdiri sendiri, terpisah dari Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Agama, sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-UndangNomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam pada itu kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu : kompetensi absolute dan kompetensi relative.
 Kompetensi absolut pengadilan adalah kewenangan badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu dan secara mutlak tidak dapat diperiksa badan pengadilan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai contoh adalah Kompetensi absolut Pengadilan Pajak. Pengadilan Pajak merupakan badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. Meskipun Pengadilan Pajak masuk dalam lingkungan Peradilan TUN, akan tetapi kompetensi absolutnya berbeda dengan kompetensi Pengadilan TUN. Kompetensi absolut Peradilan TUN berbeda dengan lingkungan peradilan lainnya, misalnya dengan Peradilan Umum yang memiliki kompetensi untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata dan pidana. Dalam pada itu, kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara atau Sengketa Tata Usaha Negara. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 UU PTUN, yaitu: ”Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap Sengketa Tata Usaha Negara”. Sebagaimana dikemukakan diatas, bahwa Sengketa TUN memiliki ruang lingkup yang lebih sempit dan lebih khusus bila dibandingkan dengan sengketa yang timbul dalam lapangan hukum publik, karena Sengketa TUN itu sendiri hanya dapat timbul manakala terdapat Keputusan Tata Usaha Negara.  Sementara itu, masih pula terdapat pembatasan-pembatasan tertentu yang dibuat oleh UU PTUN mengenai KTUN manakah yang dapat digugat di PTUN. Secara singkat pembatasan tersebut dapat dirumuskan: “KTUN = (Pasal 1 angka 3+Pasal 3 -(Pasal 2+Pasal 49).
1.      Kompetensi Relatif
Kompetensi relative pengadilan adalah kewenangan mengadili antar pengadilan dalam satu lingkungan peradilan. Kewenangan tersebut terletak pada pengadilan manakah yang berwenang memeriksa, memutus dan meneyelesaikan perkara tertentu. Kompetensi relatif PTUN diatur dalam Pasal 54 ayat (1) sampai ayat (6). Pada dasarnya gugatan didaftarkan pada tempat kediaman Tergugat (actor sequitur forum rei) dengan pengecualian-pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 54, sebagai berikut:[1]
(1) Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
(2) Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan, gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
(3) Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukummnya meliputi tempat kediaman penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.
(4) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.
(5) Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.
(6) Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan tergugat.



C.    Hukum Acara PA, PTA dan MA
1.      Hukum acara PA (Pengadilan Agama)
Berlakunya UU No. 7/1989, secara konstitusional Pengadilan Agama merupakan salah satu Badan Peradilan yang disebut dalam pasal 24 UUD 1945. Kedudukan dan kewenangannya adalah sebagai Peradilan Negara dan sama derajatnya dengan Peradilan lainnya, mengenai fungsi Peradilan Agama dibina dan diawasi oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, sedangkan menurut pasal 11 (1) UU No. 14/1970 mengenai Organisasi, Administrasi dan Finansiil dibawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan. Suasana dan peran Pengadilan Agama pada masa ini tidaklah berbeda dengan masa kemerdekaan atau sebelumnya karena Yurisdiknya tetap kabur baik dibidang perkawinan maupun dibidang waris. Hukum Acara yang berlaku tidaklah menentu masih beraneka ragam dalam bentuk peraturan perundang-undangan bahkan juga hukum acara dalam hukum tidak tertulis yaitu hukum formal Islam yang belum diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
2.      Hukum Acara PTA (Pengadilan Tinggi Agama)
Pengadilan Tinggi Agama merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota Provinsi. Sebagai Pengadilan Tingkat Banding, Pengadilan Tinggi Agama memiliki tugas dan wewenang untuk mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding.
Selain itu, Pengadilan Tinggi Agama juga bertugas dan berwenang untuk mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Agama di daerah hukumnya.
Pengadilan Tinggi Agama dibentuk melalui Undang-Undang dengan daerah hukum meliputi wilayah Provinsi. Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari Pimpinan (Ketua dan Wakil Ketua), Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris.
Dasar Hukum :
1.      Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;2,
2.      Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
3.      Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.


3.      Hukum acara MA (Mahkama Agung)
Mahkamah Agung (disingkat MA) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi dan bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya. Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara. Adapun tugas dan Fungsi Mahkama Agung adalah :
1.      Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar.
2.      Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir .


[1] . http://civillaw77.blogspot.com