Jumat, 08 Maret 2013

Pengertian asas hukum bisnis islam dan asas-asas hukum bisnis islam


BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian Asas Hokum Bisnis Islam dan Asas-asas Hukum Bisnis Islam
1.Pengertian Asas Hukum Bisnis Islam
            Perkataan asas berasal dari bahasa arab asasun, yang artinya dasar, basis, pondasi. Kalau dihubungkan dengan sistem berfikir, yang dimaksud dengan asas adalah landasar berfikir yang sangat mendasar. Oleh karena itu, Di dalam bahasa Indonesia, asas mem[unyai arti (1) dasar, alas, pondamen (Poerwadarminta, 1976:60).(2) Kebenaran yang menjadi tumpuan berfikir atau pendapat.(3) cita-cita yang menjadi dasar organisasi atau Negara[1].
            Jika asas dihubungkan dengan hokum, yang dimaksud dengan asas adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berfikir dan alas an pendapat, terutama, dalam penegakan dan pelaksanaan hokum.[2]
            Sedangkan Bisnis memiliki pengetian kerjasama dalam melakukan pekerjaan tertentu, yang terjadi antara pihak pertama dan pihak kedua dalam arti dua orang yang bersekutu.Dari pernyataan diatas dapat kita simpulkan bahwa pengertian asas hokum bisnis islam adalah tata cara atau dasar-dasar yang mengatur tentang kerjasama dalam prinsip syariat islam.
           

Akad atau kontrak berasal dari bahasa Arab yang berarti ikatan atau simpulan baik ikatan Nampak (hissy) maupun tidak Nampak (Ma’nawy)[3].Sedangkan akad menurut istilah adalah suatu kesepakatan atau komitment bersama baik lisan, Isyarat, maupun tulisan antara dua pihak atau lebih yang memiliki implikasi hokum nyang mengikat untuk melaksanakannya.[4]Dalam hokum islam istilah kontrak tidak dibedakan dengan perjanjian, keduanya identik dan disebut akad. Sehingga dalam hal ini akad didefinisikan sebagai pertemuan ijab yang dinyatakan oleh salah satu pihak dengan Kabul dari pihak lain secara sah menurut syarak yang tampak akibat hukumnya pada obyeknya.[5]
Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu contract of law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan overeenscomstrecht.[6]Michael D. Bayles mengartikan contract of law atau hokum kontrak adalah “Might than be taken to be the law pertaining to enporcement of promise or agreement”.[7]Yaitu sebagai aturan hokum yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian atau persetujuan.




Dari definisi hokum kontrak diatas dapat dikemukakan unsure-unsur yang tercantum dalam hokum kontrak yaitu :
a.       Adanya kaidah hokum
b.      Adanya subyek hokum
c.       Adanya prestasi
d.      Adanya kata sepakat
e.       adanya akibat hukum[8]
Adapun yang dimaksud dengan istilah hokum ontrak syari’ah disini adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hokum yang mengatur hubungan hokum di bidang mu’amalah khususnya perilaku dalam menjalankan hubungan ekonomi antara dua pihak atau lebih bedasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hokum secara tertulis berdasarkan hokum islam.[9]Kaidah-kaidah hokum yang berhubungan langsung dengan konsep hokum kontrak syari’ah di sini, adlaah yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadist maupun hasil interpretasi terhadap keduanya, serta kaidah-kaidah fiqih.[10]
      Tahap pracontractual dalam hokum kontrak syari’ah adalah perbuatan sebelum terjadi kontrak yaitu tahap bertemunya ijab dan Kabul, sedangkan tahap postcobtractual adalah pelaksanaan perjanjian termasuk timbulnya akibat hokum dari kontrak tersebut.



2.Asas-asas Hokum Bisnis Islam
Dalam hokum kontrak syari’ah terdapat asas-asas perjanjian yang melandasi penegakan dan pelaksanaannya. Asas-asas perjanjian tesebut di klasifikasi menjadi asas-asas perjanjian yang tidak berakibat hokum dan sifatnya umum dan asas-asas perjanjian yang berakibat hokum dan sifatnya khusus, adapun asas-asas perjanjian yang tidak berakibat hokum yang bersifat umum adalah:
a.Asas Ilahiah atau Asas Tauhid
Setiap tingkah laku dan perbuatan manusia tidak akan luput dari ketentuan Allah SWT. Seperti yang disebutkan dalam Q.S.al-Hadid ayat 4 yang artinya “DIa bersama kamu dimana saja kamu berada, Dan Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan”.Kegiatan muamalah termasuk perbuatan perjanjian, tidak pernah akan lepas dari nilai-nilai ketauhidan. Dengan demikian manusia memiliki tanggung jawab akan hal itu. Tanggung jawab kepada masyarakat, Tanggung jawab pada pihak kedua, tanggung jawab terhadap diri sendiri dan tanggung jawab kepada ALLAH SWT. Akibat dari penerapan asas ini, manusia tidak akan berbuat sekehendak hatinya karena segala perbuatannya akan mendapat balasan dari ALLAH SWT.[11]
b.Asas Kebolehan (Mabda al-Ibahah)
            Terdapat kaidah fiqhiyah yang artinya,”Pada dasarnya segala sesuatu itu dibolehkan sampai terdapat dalil yang melarang”.[12]Kaidah fiqih tersebut bersumber pada dua hadist berikut ini :
            Hadist riwayat al Bazar dan at-Thabrni yang artinya:
Apa-apa yang dihalalkan ALLAH adalah halal, dan apa-apa yang di haramkan ALLAH adalah haram, dan apa-apa yang didiamkan adalah dimaafkan. Maka terimalahdari ALLAH pemaaf-Nya. SUngguh ALLAH itu tidak melupakan sesuatu.”[13]
Hadist riwayat Daruquthni, dihasankan oleh an-Nawawi yang artinya:
Sesungguhnya ALLAH telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka janganlah kamu sia-siakan dia dan ALLAH telah memberikan beberapa batas, maka janganlah kamu langgar dia, dan ALLAH telah mengharamkan sesuatu makajanganlah kamu pertengkarkan dia, dan ALLAH telah mendiamkan beberapa hal, maka janganlah kamu perbincangkan dia.[14]
            Kedua hadist diatas menunjukkan bahwa segala sesuatu adalah boleh atau mubah dilakukan. Kebolehan ini dibatasi sampai ada dasar hokum yang melarangnya. Hal ini berarti bahwa islam member kesempatan luas kepada yang berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan macam transaksi baru sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.
c.Asas keadilan ( Al’Adalah )
            Dalam Q.S Al-Hadid ayat 25 disebutkan bahwa Allah berfirman yang artinya”Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-kitab dan Neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksakan keadilan”. Dalam asas ini para pihak yang melakukan kontrak dituntut untuk berlaku benar dalam mengungkapkan kehendak dan keadilan, memenuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi semua kewajibannya.[15]
d.Asas persamaan atau Kesetaraan
            Hubungan muamalah dilakukan untuk memenuhi kebutuhana hidup manusia.sering kali terjadi bahwa seseorang memiliki kelebihan dari yang lainnya.Oleh karena itu sesame manusia masing-masing memilki kelebihan dan kekurangan.Dalam melakukan kontrak para pihak menentukan hak dan kewajiban masing-masing didasarkan pada asas persamaan dan kesetaraan.[16]   
e.Asas Kejujuran dan Kebenaran (Ash Shidiq)
            Jika kejjuran ini tidak diterapkan dalam kontrak, maka akan merusak legalitas kontrak dan menimbulkan perselisihan diantara para pihak.[17]Suatu perjanjian dikatakan benar apabila memiliki manfaatbagi para pihak yang melakukan perjanjian dan bagi masyarakat dan lingkungannya. Sedangkan perjanjian yang mendatangkan madharat dilarang.
f.Asas Tertulis (Al Kitabah)
            SUatu perjanjian hendaknya dilakukan secara tertulis agar dapat dijadikan sebagai alat bukti apabila di kemudian hari terdapat persengketaan.[18]
g.Asas Iktikad Baik (Asas Kepercayaan)
            Asas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi, “Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”.
h.Asas Kemanfaatan dan Kemaslahatan
            Asas ini mengandung pengertian bahwa semua bentuk perjanjian yang dilakukan harus mendatangkan kemanfaatan dan kemaslahatan baik para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian maupun bagi masyarakat sekitar meskipun tidak terdapat ketentuan dalam AL-Quran dan Al-Hadist.[19]
i.Asas Keseimbangan Prestasi
            Yang dimaksud dengan asas ini adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian.[20]Dalam hal ini dapat diberikan ilustrasi, kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui harta debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik.
j.Asas Kepribadian (personalitas)
            Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa sesorang yang akan  melakukan dan atau membuat  kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan.Hal ini dapat dipahami dari bunyi pasal 1315 dan pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi: “Pada umumnya sesorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.”Dengan demikian asas kepribadian dalam perjanjian dikecualikan apabila perjanjian tersebut dilakukan seseorang untuk orang lain yang memberikan kuasa bertindak hokum untuk dirinya atau orang tersebut berwenang atas nya.




BAB III
PENUTUP DAN KESIMPULAN

            Sebagai penutup perlu dikemukakan kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut:
            Dalam hokum kontrak syariah, paling tidak terdapat 14 macam asas perjanjian yang dapat digunakan sebagai landasan berfikir dan bertransaksi dalam penegakan hokum kontrak syariah tersebut.Dalam merespon perkembangan bentuk-bentuk baru dalam bertransaksi sudah seharusnya ahli fiqih mu’amalah disamping menguasai prinsip-prinsip dan asas hokum islam itu sendiri, juga mengetahui praktek-praktek pada umumnya. hal ini penting dilakuakan, karena bagaimana mungkin penetapan hokum atas bentuk-bentuk mu’amalah kontemporer itu sendiri tidak dipahami, sehingga penguasaan kedua metodologi kajian fiqih mu’amalah sudah saatnya diimplementtasikan.









DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad Daud  (2000). Asas-asas Hukum Islam,Cet. Ke-5 Jakarta: CV. Rajawali.
Anwar,Syamsul  (1992). “Asas kebebasan berkontrak dalam sunnah Nabi”, dalam Jurnal Asy Syir’ah, No.3 tahun XV, (Yogyakarta: Hakultas Syari’ah IAIN Sunan Kali Jaga.
Bayles, Michael, D (1987). Principle of law A normative Analysis. Holland Riding Publising Company Dordrecht.
Bukhari, Abu abdillah Muhammad ibn Ismail al- (t.t.). shahih al-Bukhari. Surabaya: Ahmad Nabhan.
Dewi, Gemala dkk (2006). Hukum perikatan islam di Indonesia. Jakarta: Kencana
Salim, H.S. (2006). HUkum Kontrak: Teori dan penyusunan kontrak, Cet. Ke-4. Jakarta:Sinar Grafika.


           



[1] Prof.H.Mohammad Daud Ali.S.H. Hukum Islam pengantar ilmu hokum dan tata hokum islam di ndonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000). h.114
[2] Ibid. h.114
[3] Fayruz Abadyy Majd al-Din Muhammad Ibn Ya’qup. al-Qamus al-Muhit, Jilid I. (Beirut: D Jayl), h.327.
[4] Nuhammad Salam Madkur (1963). al-Madkhal al-Fiqh al-Islamyy. (ttp: Dar al-Nahdah al-‘Arabiyyah), h.506.
[5] Syamsul Anwar . Kontrak dalam islam, Makalah disampaikan pada Pleatihan Penyelesaian Senketa ekonomi syariah di pengadilan Agama. (Yogyakarta: kerjasama Mahkamah Agung RI Dan Progam Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum UIII, 2006), h. 7.
[6] Salim H.S , Hukum Kontrak: Teori dan teknik penyusunan kontrak, Cetakan ke-4. (Jakarta: Sinar Grafika,2006).h.3
[7] Michael D.Bayles, principles of law a normative analysis, (Holland: Riding Publishing Company Dordrecht, 1987)
[8] Salim H.S hokum kontrak…..,h.4-5
[9] Gemala Dewi dkk. Hukum Perikatan Islam di Indonesia, cet-2. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h.3.
[10] Ibid.Lihat juga Syamsul Anwar (2006). Kontrak dalam Islam…, h. 1-4.
[11] Muhammad SYakir Aula, Asuransi Syari’ah (Life and General):Konsep dan Sistim Operasional, Cet. 1. (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h.723-727.
[12] Imam Musbikin. Qawa’id AL-Fiqhiyah, Cet. 1. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), lihat Syamsul Anwar (2006). Kontrak dalam islam….,h. 12.
[13] ibid.
[14] Ibid. h.59
[15] Gemala Dewi (2006). Hukum Perikatan…., h. 33. 
[16] Ibid, h.32-33
[17] Ibid. h. 37
[18] Ibid,Lihat juga Mohammad Daud Ali. Asas-asas Hukum Islam. (Jakarta: CV.Rajawali, 1990), h. 124.
[19] M.Tamyiz Muharrom(2003),”Kontrak Kerja: Antara Kesepakatan dan Tuntutan Pengembangan SDM”, Dalam Al Mawarid Jurnal Hukum islam, Edisi X tahun 2003, (Yogyakarta: Progam studi Syari’ah FIAI UII).
[20] Salim H.S (2006). Hukum Kontrak……,h. 13-14, Lihat juga Syamsul Anwar (2006). Kontrak Dalam Islam…..,h.12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar