Kelompok 3 Mengenai
Peradilan
Sebelum Islam
ü Peradilan Nabi Adam AS
ü Peradilan Nabi Dawud n Nabi Sulaiman AS
ü Peradilan Mesir Kuno
ü Peradilan Arab Pra Islam
A.
Zaman nabi Adam AS
Pada masa Nabi
Adam As, baik saat di surga atau seteliau beliau dan Siti Hawa turun ke bumi
proses peradilannya lansung serta merta dari Allah SWT. hal ini dapat diketahui
dari peristiwa pemakanan buah huldi yang kemudian berakibat pula bagi syaitan
dengan imbalan kekekalan di neraka.
Di samping itu pula saat penerimaan pengorbanan oleh anak Nabi Adam As,
Allah memberikan pelajaran yang dapat di ambil hikmahnya bahwa dunia serta
isinya tidaklah ada apa-apanya jika terkait dengan perintah Allah SWT.
B.
Zaman Nabi Daud dan
Sulaiaman
Nabi Daud yang
merupakan ayah dari Nabi Sulaiman adalah seorang qadli pada kurun waktu
tersebut. Sewaktu Nabi Daud menduduki tahta
kerajaan Bani Israil Nabi Sulaiman selalu
mendampinginnya dalam tiap-tiap sidang peradilan yang diadakan untuk menangani
perkara-perkara perselisihan dan sengketa yang terjadi di dalam masyarakat. Ia
memang sengaja dibawa oleh Daud untuk menghadiri sidang-sidang peradilan serta
menyekutuinya di dalam menangani urusan-urusan kerajaan untuk melatihnya serta
menyiapkannya sebagai putera mahkota yang akan menggantikanya memimpin
kerajaan, bila tiba saatnya ia harus memenuhi panggilan Ilahi meninggalkan
dunia yang fana ini.
Dan memang
Sulaimanlah yang terpandai di antara sesama saudara yang bahkan lebih tua usia
daripadanya.Suatu peristiwa yang menunjukkan kecerdasan dan ketajaman otaknya
iaitu terjadi pada salah satu sidang peradilan yang ia turut menghadirinya.
dalam persidangan itu dua orang datang mengadu meminta Nabi Daud mengadili
perkara sengketa mereka, iaitu bahawa kebun tanaman salah seorang dari kedua
lelaki itu telah dimasuki oleh kambing-kambing ternak kawannya di waktu malam
yang mengakibatkan rusak binasanya perkarangannya yang sudah dirawatnya begitu
lama sehingga mendekati masa menuainya. Dalam perkara sengketa tersebut, Daud
memutuskan bahawa sebagai ganti rugi yang dideritai oleh pemilik kebun akibat
pengrusakan kambing-kambing peliharaan tetangganya, maka pemilik kambing-kambing
itu harus menyerahkan binatang peliharaannya kepada pemilik kebun sebagai ganti
rugi yang disebabkan oleh kecuaiannya menjaga binatang ternakannya.
Akan tetapi
Sulaiman yang mendengar keputusan itu yang dijatuhkan oleh ayahnya itu yang
dirasa kurang tepat berkata kepada si ayah: "Wahai ayahku, menurut
pertimbanganku keputusan itu sepatut berbunyi sedemikian : Kepada pemilik
perkarangan yang telah binasa tanamannya diserahkanlah haiwan ternak jirannya
untuk dipelihara, diambil hasilnya dan dimanfaatkan bagi keperluannya.
Sedang
perkarangannya yang telah binasa itu diserahkan kepada tetangganya pemilik
peternakan untuk dipugar dan dirawatnya sampai kembali kepada keadaan asalnya,
kemudian masing-masing menerima kembali miliknya, sehingga dengan cara demikian
masing-masing pihak tidak ada yang mendapat keuntungan atau kerugian lebih
daripada yang sepatutnya." Kuputusan yang diusulkan oleh Sulaiman itu
diterima baik oleh kedua orang yang menggugat dan digugat dan disambut oleh
para orang yang menghadiri sidang dengan rasa kagum terhadap kecerdasan dan
kepandaian Sulaiman yang walaupun masih muda usianya telah menunjukkan
kematangan berfikir dan keberanian melahirkan pendapat walaupun tidak sesuai
dengan pendapat ayahnya.
Peristiwa ini
merupakan permulaan dari sejarah hidup Nabi Sulaiman yang penuh dengan mukjizat
kenabian dan kurnia Allah yang dilimpahkan kepadanya dan kepada ayahnya Nabi
Daud.
C.
Peradilan Mesir Kuno
Apa pun
keadaannya, namun yang jelas, bahwa sejarah peradilan telah dimulai sejak
masa-masa silam, sedang hal yang
teristimewa yang menjadi perhatian bangsa-bangsa ini tentang peradilan ada dua
macam:
-
Kemampuan qadli, dan kebaikan akhlaknya, maka tidak akan seseorang
diangkat sebagai qadli apabila ia tidak memiliki kemampuan bidang ini, oleh
karena itu akan diperhatikan pula tentang kecerdasannya, kecerdikannya, dan
keluasan ilmunya, demikian juga tentang segi-segi ketenangan hatinya,
kebersihan jiwanya, dan keluhuran budinya.
-
Bahwa qadli harus diliputi situasi yang dapat menjamin kebebasan
dirinya dalam melaksanakan tugasnya yang suci, maka semakin tinggi kemajuan
bangsa, maka semakin semakin besar pula jaminan-jaminan tersebut dapat
diperoleh oleh pra qadli.
D.
Peradilan Arab Pra Islam
Bangsa arab
sebelum islam telah memiliki qadli untuk menyelesaikan segala sengketa mereka,
hanya saja mereka belum memiliki undang-undang tertulis yang dapat dijadikan
pegangan para qadli. Sedang mereka memutuskan hukum-hukum mereka dengan cara
menyesuaikan dengan adat kebiasaan mereka yang turun-temurun, dan dari pendapat
kepala-kepala suku, atau dari orang-orang yang mereka pandang arif yang dikenal
sebagai orang-orang yang jitu pendapatnya, dan menyita hak-hak dengan firasat
dan tanda-tanda, sedang kecerdasan ahli-ahli hukum mereka menyebabkan mereka
lebih mendahulukan memutuskan hukum dengan firasat dan tanda-tanda daripada
dengan alat-alat bukti lainya seperti saksi atau pengakuan.
Kelompok 3 Mengenai
Peradilan
Zaman Umayah
ü Rekonsiliasi
Umar bin Abd. Aziz
ü Lembaga
– Lembaga Hukumnya
ü Qadli
dan Tugas – Tugas Tambahannya
A.
Rekonsiliasi Umar bin Abdul al-Aziz
Dalam
masa pemerintahannya Umar Bin Abdul Aziz melakukan perbaikan dalam kehidupan
negara dengan dimulai dari dirinya sendiri, kemudian melanjutkannya pada
keluarga intinya dan selanjutnya pada keluarga istana yang lebih besar.
Maka
langkah pertama yang harus ia lakukan adalah membersihkan dirinya sendiri,
keluarga dan istana kerajaan. Dengan tekad itulah ia memulai sebuah reformasi
besar yang abadi dalam sejarah
Hal
ini dapat diketahui dengan berdasarkan suatu crita bahwasannya Umarpada waktu
itu menyerahkan semua tanah dan harta
yang dimiliki ke baitul mal karena diyakini harta yang diwarisi tersebut bukan
haknya tetapi hak rakyat. Begitu juga sikap ini diberlakukukan pada istrinya
agar memilih untuk merngikuti jalan umar atau meningggalkannya untuk kembali
pada keluarganya, karena umar menyadari bahwa istrinya adalah orang yang tidak
pernah merasakan kesengsaraan dan kekurangan harta, akan tetapi fatimah binti
malik memilih untuk tetap mendampingi suaminya sampai akhir hayat.
B.
Lembaga
– Lembaga Hukumnya
Pada
masa dinasti umaiyah, al qadha dengan Nizham al qaadhaiy(organisasai kehakiman)
, dimana kekuaasan pengadilan telah dipisahkan dari kekuaasan politik : Ada dua
cirri khas bentuk peradilan pada masa bani umaiyah, yaitu :
ü Hakim memutuskan perkara menurut hasil
ijtihadnya sendiri, dalam hal-hal yang tidak ada nash atau ijma’. Ketika itu
madzab belum lahir dan belum menjadi pengikat bagi keputusan-keputusan haklm.
Pada waktu itu hakim hanya berpedoman kepada al quran dan As-sunnah.
ü Lembaga peradilan pada masa itu belum
dipengaruhi oleh penguasa. Hakim memiliki hak otonom yang sempurna, tidak di
pengaruhi oleh keinginan-keinginan penguasa. Keputusan mereka tidak hanya
berlaku pada rakyat biasa, tetapi juga pada penguasa-penguasa sendiri. Dalam
hal itu, khalifah selalu mengawasi gerak-gerik hakim dan memecat hakim yang
menyeleweng dari garis yang ditentukan.
C.
Para
Tokoh Qadli dan Tugasnya
1.
Al-Qadhi
Asisabi
Nama lengkapnya adalah Amir bin
surah bin asy-sya’bi. Beliau merupakan seorang ulam tabi’in terkenal, lahir
tahun 17 H. beliau adalah seorang hakim di kufah menggantikan Suraih. Beliau
banyak menerima hadis dari Abu HUrairah, Ibn Abbas, isyah dan Ibnu umar. Dia
juga adalah ahli fikih termasuk guru tertua Imam abu Hanifah.
2.
Al-Qadhi
ijas
Nama lengkapnya adalah Abu Wailah
Ijas bin MUawiyah bin Qurrah, merupakan qadhi dari khalifah bani umaiyah yang
paling adil, cerdas, dan paling tepat firasatnya. Beliau hidup di masa
pemerintahan khalifah Umar bin abdul aziz.
3.
Salim
bin Ataz
Seorang hakim di daerah Mesir yang
terkenal piawai dalam menyelesaikan perkara-perkara dan dialah permulaan hakim
yang mencatat keputusannya. Dan menyusun yurisprudensi pada masa pemerintahan
muawiyah.
Adapun instansi dan tugas kehakiman di masa bani umaiyah
dapat dikategorikan menjadi tiga macam yaitu :
ü Al Qadha merupakan tugas qadhi dalam
menyelesaikan perkara-perkar ayang berhubungan dengan agama. Di samping itu
badan ini juga mengatur institusi wakaf, harta anak yatim dan orang yang cacat
mental.
ü Al Hisbah merupakan tugas al muhtasib
(kepala hisbah) dalam menyelesaikan perkar-perkara umum dan soal-saoal pidana
yang memerlukan tindakan cepat. Pada masa Rasulullah saw, peradilan hisbah ini
sudah ada.
ü Al Nadhyar fi al-Mazhalim merupakan
mahkamah tinggi atau mahkamah banding dari mahkamah di bawahnya( al qadha dan
al hisbah). Lembaga ini juga dapat mengadili para hakim dan pembesar yang
berbuat salah.
Kelompok 4 Mengenai
Peradilan
Zaman Abbasiyah
ü Pembaharuan hukumnya
ü Qadli qudhah, fungsi dan tugasnya
ü Tokoh-tokohnya
A.
Pembaharuan Hukum
Pada masa Nabi
perkara itu dengan mudah bisa diputuskan oleh beliau karena memang sumber hokum
berasal dari beliau, baik Al-Qur’an maupun Hadis, maka pada masa dinasti
abbasiyah sumber hokum lebih bervariasi. Disamping Al-qur’an dan Hadis sumber
hokum yang banyak digunakan oleh hakim kala itu adalah yurisprudensi atau
preseden hokum yang ditinggalkan oleh hakim-hakim sebelum mereka.
Adapun sumber
hukum yang digunakan oleh para hakim dan ulama’ adalah :
a.
Kitabullah ( Al-Qur’an )
b.
Sunnah Mutawatirah
c.
Sunnah yang tidak mutawatir
(ahad) yang diterima baik oleh sahabat
d.
Dan fatwa-fatwa Fuqaha’
sahabat.
Keputusan-keputusan itu merupakan warisan yang kaya dan bisa dijadikan
sebagai rujuka bagi hakim-hakim masa Dinasti Abbasiyah.
B.
Qodlil qudhah dan Fungsinya
Qadhil Qudhah
ini berkedudukan di ibukota negara dan dialah yang mengangkat hakim-hakim
daerah. Qadhil Qudhah yang pertama adalah Al-Qadhi Abu Yusuf Yaqub bin Ibrahim
Al-Anshari, Sahabat dekat dan pelanjut mazhab Imam Abu Hanifah dan pengarang
kitab Al-Kharaj. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid yang
memang sangat memuliakan Abu Yusuf dan sangat memperhatikan hakim-hakim serta
gerak-gerik mereka.
Selain itu dalam sejarah islam yang biasa menduduki jabatan Hakim Agung
adalah golongan ulama yang telah lama mengabdi dibidang yurisdiksi islam dan
merupkan tokoh yang teguh pendirian . adapun fungsi qadhi al-qudha adalah sebagai berikut:
·
Al-Qadha adalah lembaga yang berfungsi untuk memberi
penerangan dan pembinaan hokum, menyelesaikan perkara sengketa, perselisihan
dan masalah wakaf.
·
Al- Hisbah adalah suatu
badan pelaksanaan kekuasaan kehakiman dalam islam yang berfungsi untuk
menegakkan kebaikan dan mencegah kezaliman. Tugasnya menangani tugas criminal
yang penyelesainnya perlu segera, mengawasi hokum, mengatur ketertiban umum,
mencegah terjadinya pelanggaran hak tetangga serta menghukum orang-orang yang mempermainkan
hukum syara’
·
Al-mazhalim adalah slah satu komponen peradilan yang berdiri
sendiri dan merupakan peradilan yang berfungsi untuk mengurusi penyelasaian
perkara perselisihan yang terjadi antara rakyat dan Negara.
·
Al-mahkamah Al-‘Askariyah, selain tiga bidang peradilan diatas
pemerintahan bani Abbas juga dibentuk mahkamah/ peradilan militer (Al-mahkamah
Al-‘Askariyah ) dengan hakimnya adalah qadhi al-‘askar atau qadhi al-jund.
Posisi ini sudah ada sejak zaman sultan Shalahuddin Yusuf bin Ayub. Tugasnya
adalah menghadiri siding-sidang di Dar al-Adl, terutama ketika persidangan
tersebut menyangut anggota militer atau tentara.
C.
Tokoh-tokoh Qadhi
Beberapa tokoh Qadhi yang terkenal pada masa Bani Abbasiyah diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Abu yusuf, ya’qub bin Ibrahim ( lahir tahun 131 H/ 731 M – wafat
taun 182 H / 789 M ) beliau adalah qadhi qudha Harun al-rasyid
2.
Yahya bin Aksam ( lahir tahun 159 H/ 755 M – wafat tahun 242 H / 857
M ) beliau adalah qadhi qudha al-Makmum
3.
Al-‘izz bin Abd. Al-salam ( lahir tahun 578 H/ 1181 M – wafat tahun
660H / 1262 M ) beliau adalah qadhi mesir
4.
Ibnu Daqiqi ‘Ied ( lahir tahun 625H/ 1228 M – wafat tahun
702H/1302M ) beliau adalah qadhi Mesir dan Shai’id.
Kelompok 5 Mengenai
Pembinaan Peradilan dalam slam
ü Syarat
– Syarat Qadli
ü Pengangkatan
Qadli
ü Pemberhentian
Qadli
ü Waktu
dan Tempat Sidang
A. Syarat Bagi Qadli
Pada awal dari perjalanan sistem peradilan yang mulai
berkembang dirasakan perlu sekali akan adanya bmbingan dan arahan bagi para
qadli, baik dari segi sistematika peradilan maupun asas apa saja yang
mempengaruhi dapat terlaksananya cita-cita perwujudan suatu lenbaga peradilan.
Tidak hanya hal itu, dalam menjadi seoraang qadli juga
tidak lepas denga syarat dan aturang yang berguna seebagaipenunjang tercapainya
peradilan yang benar dan adil. Oleh karena itu, para calon qadli harusnya
memenuhi beberapa syarat, agar dia dapat memenuhi sarat tersebut teentunya
mereka haruslah tau kan sumber-sumber hukum dan beberapa hal terkait.
Mereka pun dalam indivinya harusnya seseorang yang adil
dan berjiwa pantang menyerah dan sangat luwes akan kondisi sosial yan terbaru.
B. Pengangkatan Qodli
Menjadi keharusan bahwa setiap masyarakat
memerlukan penguasa yang menertibkan mereka agar mereka dan memelihara
kemaslahatan- maslahatan mereka. Dan pengangkatan penguasa pemerintahan umm
atau wakilnya, terhadap orang yang telah memenuhi syarat keahlian dan kepatutan,untuk
jabatan qadli ini tidak menghalanginya
(qadli) untuk memeriksa pihak- pihak yang bersengketa dan boleh
pengangkatan qodli itu oleh penguasa pemerintahan yang adil maupun yang curang,
apabila masih mungkin memutuskan perkaran dengan benar, dan penguasa itu tida ikut mencampuri urusan peradialan.
C. Pemberhentian
Qadli
Di samping dapat mengangkat qadli,Pemerintah
pun mempunyai hak memecat qadli apabila
ada sebab yang menghendakinya, dan tida dibenarkan tindaan pemecatan tanpa ada
sebab, demikian menurut madzhab syafi’I, karena hal itu dikaitkan dengan kemaslahatan
kaum muslimin dan hak umat.
Menurut pendapat jumhur, bahwa qadli yang
mengundurkan diri itu tidak terhenti kelangsunngan tugasnya sampai pejabat
baru, karna dalam hal ini tidak seorang pun membatalan suatu hak, dan menurut
satu pendapat dikatakan, bahwa qadli yang demikian itu belum terlepas selama
pengunduran dirinya belum diketahui oleh pihak yang mengangkatnya, dan apabila
dikiaskan oleh pendapat abu yusuf, maka sebenarnya ia belum terlepas sampai ia
menerima surat peberhentian,dan inilah yang sesuai dengan apa yang berjalan
sekarang.
Dan atas dasar itu, maka selama surat
pemecatan itu belum disampaikan, maka segala putusannya masih tetap sah
demikian juga segala tetap dapat dilaksanaan selama secara resmi
pengunduran dirinya itu belum diterma. Dan kalau seorang qadli meninggal dunia
atau dipecat oleh yang tidak berhak memecatnya maka tidak terpecat dan tidak
diperlukan pengangkatan baru, sebab pada dasarnya ia melaksanakan kekuasaan
umum di bidang peradilan dari umat dan mengadili atas namanya.
D.
Ketentuan Tempat
Telah kita ketahui bersama bahwasannya ketentuanakan mengadili ditempat yang ditentukan seperti kota tertentu atau
dibagian tertentu dikota itu, maka wewenangnya terbatas pada tempat yang
telah ditentukan itu dan tidak dibenarkan mengadili ditempat lain, dan
wewenangnya terbatas hanya mengadili orang-orang yang tinggal ditempat yang
ditentukan itu, selain pendatang, atau orang yang tinggal ditempat itu dan
(juga) pendatang-pendatangnya.
Namun
qadli ini dapat dikecualikan, seperti kalau penggungat ini ada adalah seorang
istri yang menuntut nafkah atau pemelihara anak sebagaimana yang disebutkan
dalam nota gugatan, maka dalam hal seperti ini ia mempunyai hak mengajukan
gugatannya kepengadilan yang diwilayahi domisilinya, atau yang menjadi pokok
persengketaan itu adalah sebidang tanah, maka dalam hal seperti ini pengadilan
yang berwewenang adalah pengadilan yang mewilayahi daerah dimana tanah itu
berada.
Kelompok 6 Mengenai
Hukum Materil n Hukum Formil Peradilan Islam
ü Hukum
Materil Pidana Islam
ü Hukum
Materil Perdata Islam
ü Hukum
Acara Peradilan Islam
A.
Pengertian
Hukum Materiil
Hukum materiil adalah
sumber hukum yang menentukan isi suatu peraturan atau kaidah hukum yang
mengikat semua orang yang berkenaan dengan ketentuan dilakukan atau tidaknya
suatu perbuatan hokum. Sebab aturan hukum materiil mempunyai dua segi yang
mengikat yaitu suatu kewajiban dan adanya suatu larangan tertentu.
Hukum materiil
peradilan Islam sendiri sudah ada pada
zaman dahulu, hal ini bisa dilihat bahwa para sahabat ketika dihadapkan suatu
masalah atau perkara atau juga dimohon memberikan fatwa hukum, maka mereka
mencari ketentuan hukumnya di dalam Al-Qur’an, apabila mereka tidak menemukan
di dalamnya, mereka mencari disunnah Rasulullah Saw, bila tidak ditemukan juga
maka mereka bertanya pada sahabat yang lain apakah diantara mereka ada yang
mengetahui hukum perkara seperti itu di dalam sunnah.
B.
Hukum
Formil (Hukum Acara) Peradilan Islam
Hukum adanya peraturan
perundang-undangan baik sebagai wadah maupun proses. Hukum formil juga bisa disebut hukum acara. Adapun hukum
acara peradilan islam yang pokok itu meliputi :
1.
Macam-macam
dakwaan (gugatan)
Dalam pengertiannya
dakwaan adalah pengaduan yang dapat diterima hakim dengan maksud untuk menuntut
suatu hak pada pihak yang lain. Dalam prosesnya sendiri ketika pihak yang
menggugat membatalkan gugatannya maka hakim
tidak dapat mengharuskan dia meneruskan gugatannya.
Orang yang tergugat sendiri adalah orang yang disandarkan
kepadanya suatu tuntutan hak yang dihadapkan atasnya. Adapun rukun pokok dari
gugatan adalah Adanya sebab dan hak yang mengakibatkannya dapat mengajukan
gugatan. Sedang syarat sah dakwaan
adalah adanya Si penggugat dan tergugat, keduanya berakal sehat dan
adanya obyek perkara.
Mekanismenya sendiri
(saat hukum acara) Si tergugat wajib menjawab gugatan yang dihadapkan kepadanya
lantaran menghilangkan persengketaan dan pertengkaran adalah suatu hal yang
wajib. Hal ini tidak dapat diselesaikan tanpa ada jawaban dari si tergugat.
Jika dia membenarkan
dakwaan, maka diperintahkanlah dia memenuhi tuntutan si penggugat karena
dianggap benar .akan tetapi jika dia
menolak, maka jika si penggugat mempunyai bukti dan hendaklah membuktikan
kebenaran dakwaannya.
Hal-hal yang
menyebabkan ditolaknya dakwaan apabila si mudda’i ‘alaih terhindar dari
tuduhan. Putusan hakim nya adalah mudhbir (menampakkan hukum), bukan
mutsbit (menetapkan hukuman).
2.
Prinsip-prinsip
umum dalam pembuktian
Keadilan sangat
memerlukan pembuktian. Yang dimaksud dengan pembuktian adalah memberikan
keterangan dan dalil hingga dapat meyakinkan.
Jelas bahwa tugas untuk melakukan pembuktian adalah tanggungan si
pegguagat, sebabnya dialah awal dari
segala urusan itu. Karena itu wajib atas
orang yang mengemukakan gugatan, membuktikan kebenaran gugatannya.
Ø Cara-cara pembuktian yang pokok menurut
para fuqaha’ ada dua cara :
-
Gugatan
(dakwa) ialah tuduhan yang dapat diterima oleh hakim untuk menuntut sesuatu hak
pada orang lain, atau untuk membela haknya sendiri.
-
Bukti
adalah sesuatu yang dapat meyakinkan atau dapat memberikan keterangan.
Kelompok 7 Mengenai
Lembaga
Tahkim dan Futya
ü Pengertian
dan Syarat – Syaratnya
ü Fungsi
dan Wewenangnya
ü Kekuatan
Hukumnya
A.
Pengertian Lembaga Al-Tahkim dan Futya
Secara umum, tahkim memiliki
pengertian yang sama dengan arbitrase yang dikenal dewasa ini yakni
pengangkatan seseorang atau lebih sebagai juru damai oleh dua orang yang
berselisih atau lebih guna menyelesaikan perselisihan mereka secara damai,
sehingga orang yang menyelesaikan disebut dengan “Hakam”.
Dari segi kedudukannya, tahkim lebih rendah daripada lembaga
peradilan. Sehingga hukum yang diberikan oleh muhakkam hanya berlaku bagi
orang-orang yang menerima putusannya, sedang putusan hakim harus berlaku walaupun
tidak diterima oleh orang yang bersangkutan.
Sedangkan lembaga futya adalah petuah, penasehat, jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan
hukum. Pihak yang meminta fatwa tesebut bisa bersifat pribadi, lembaga, maupun
kelompok masyarakat. Pihak yang memberi fatwa dalam istilah Ushul Fiqh disebut Mufti
dan pihak yang meminita fatwa disebut al-mustafti.
B.
Tugas dan Fungsi ke Duanya
Tugas dan fungsi lembaga tahkim yaitu menyelesaikan sengketa dengan
landasan perdamaian sebagai hasil ahirnya. Dalam menyelesaikan sengketa, Para hakim berusaha maksimal mendamaikan pihak-pihak
yang bersengketa dengan menggunakan metode-metode yang lazim dalam bidang agama dan psikologis kemasyarakatan sehingga ditemukan jalan keluar yang menjadi
kesepatan di antara mereka.
Sedangkan tugas dan fungsi lembaga fatwa adalah memberi jawaban
hukum atas pertanyaan dan persoalan yang menyangkut masalah hukum yang tidak
diketemukan dalam al-Quran maupun sunnah atau memberi penegasan kembali akan
kedudukan suatu persoalan menurut ajaran hukum Islam.
C.
Kewenangan ke Duanya
Ø Lembaga
Tahkim
-
Memutuskan semua perkara kecuali nikah, li’an qodi’at
dan qishas.
-
Memutuskan perkara hanya dalam bidang perdata harta
benda, bukan pidana li’an, qdzof, talak, atau memutuskan peraturan.
Ø Lembaga
futya
-
Kewenangan lembaga fatwa yaitu memutuskan perkara
hanya menyangkut hal yang sudah terjadi.
-
Dalam hal tertentu, lembaga tersebut harus memberikan
pernytaan mengenai hukum halal dan haramnya sesuatu.
D.
Kekuatan Hukum
·
Lembaga Tahkim
-
Keputusan hakim hanya berlaku kepada pihak yang
mengajukan sengketa.
-
Pihak perkara dapat menolak sengketa, sebelum putusan
dikeluarkan hakim.
-
Para ahli hukum Islam dikalangan madzhabiyah
sepakat bahwa segala apa yang menjadi keputusan hakam langsung mengikat kepada
pihak-pihak yang bersengketa, tanpa lebih dahulu meminta persetujuan kedua
belah pihak.
-
Pihak berperkara dapat menolak putusan dan mengalihkan
kepada peradilan Islam Qodho’.
·
Lembaga Futya
-
Fatwa yang diberikan sifatnya mengikat bagi pihak yang
meminta fatwa.
-
Fatwa yang diberikan sifatnya tidak mengikat, sungguh
demikian, fatwa menjadi bahan pertimbangan yang penting bagi umat Islam di
manapun berada.
Kelompok 8 Mengenai
Wilayah al Mudzallim dan al Hisbah
ü
Pengertiannya
ü
Sejarahnya
ü
Fungsi dan Wewenangnya
ü
Kekuatan Hukumnya
A.
Pengertian Wilayah Mazhalim dan Wilayah Hisbah
Wilayah
Mazhalim merupakan
suatu komponen dari peradilan yang berdiri sendiri dan merupakan bentuk
peradilan yang menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara rakyat dan Negara.
Wilayah Mazhalim sendiri dalam pelaksanaan sidangnya selalu diselanggarakan di
masjid dan haruslah dihadiri oleh kelima pihak, adapun kelimanya adalah :
-
Para pembela dan pembantu yang berusaha penyimpangan-penyimpangan
hukum.
-
Para hakim berlaku dengan seadil-adilnya.
-
Adanya para fuqaha’ sebagai rujukan bila ditemukan masalah yang
sukar.
-
Adanya katib yang mencatat hal yang penting dalam persidangan.
-
Adanya para saksi guna menyaksikan bahwa keputusan yang diambil
oleh parahakim itu adil benar dan adil.
Wilayah Hisbah aedalah salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman dalam islam
yang bertugas untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kemudzaratan. Al Mawardi
sendiri mendifinisikan al hisbah sebagai berikut “’amar bil ma’ruf idza
zahar tarkah wa nahy ‘anil munkar idza zahar fi’lah”.
B.
Sejarah Wilayah Madzalim dan Wilayah Hisbah
Peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW
ke Madinah di tandai dengan suatu kebijakan Nabi mengenai beberapa hal
yang terkait dengan berlansungnya kehidupan dari beberapa etnis dan hak
individunya. adapun kelimanya (shahifah al-Rasul) adalah :
-
Pernyataan persatuan antar Muhajirin dan Anshar serta orang-orang
yang terlibat dalam satu perjuangan.
-
Orang – orang yang dzalim dan mengadakan permusuhan di antara orang
mu’min harus diatasi walaupun keluarga sendiri.
-
Orang yahudi dan orang islam saling membantu dalam menghadapi musuh
dan bebas menjalankan agama masing-masing.
-
Orang yang bertetanggaseperti satu jiwa dan tidak boleh saling
berbuat dosa.
-
Orang-orang yang bermukim di Madinah berstatus aman kecuali yang
berlaku zalim dan dosa.
Setelah wafatnya Rasulullah SAW dan berganti dengan masa ke-khalifaan,
Wilayah Madzalim dan Wilayah Hisbah dipegang sendiri oleh khalifah, baik dalam
urusan teknisnya maupun pembekalan pada tiap Qadhi nya. Akan tetapi pada masa
ke-khalifaan Mu’awiyah memiliki keistimewaan karena terpish dengan
pemerintahan.
Setelah ke-khalifaan mu’awiyah di gantikan dengan daulah abasyiah umat
islam banyak mengalami kemajuan termasuk dalam segi peradilan. Dalam masa ini
pemisahan peradilan dan pemerintahan sudah mencakup pada sudah dipimpinnya
lembaga peradilan tersebut oleh Qadhi al-Qudhah yang berkedudukan di ibu kota
yang bertugas mengawasi para qadhi di semua daerah kekuasaan islam.
C.
Wewenang Wilayah Madzalim dan Wilayah Hisbah
Pengadilan Wilayah Madzalim menyelesaikan perkara sogok-menyogok atau lebih
dikenal dengan perkara korupsi. Dalam wilayah ini mereka berusaha menyelesaikan
perkara yang tidak bisa dituntaskan oleh hakim biasa, hal ini dikarenakan kasus
tersebut bersangkut paut dengan para pejabat pemerintahan.
Adapun dalam wilayah madzalim Imam Mawardi mengatakan dalam “al-ahkam
al-shulthoniyyah” bahwasannya tugasnya adalah melaksanakan ‘amr ma’ruf nahy
munkar serta menjadikan kemaslahatan pada masarakat.
Walau kadang wilayah hisbah ini sistematisnya sangat mirip dengan
lembaga pemerintahan, akan tetapi hanya bertugas mengawasi hal yang sudah
Nampak pada masarakat berkenaan dengan ‘amr ma’ruf nahy munkar. Di sampan itu,
wilayah hisbah juga berhak memberikan hukuman secara lansung kepada orang yang
melanggar syari’at yang hukumannya hanya berupa ta’zir yang ditentukan oleh hakimnya dan diluar
ketentuan hukum syara’.
Kelompok 10 Mengenai
Putusan Hakim
ü Putusan
Hakim Mujtahid
ü Putusan
Hakim Muttabi’
ü Putusan
Hakim Muqallid
A.
Putusan Hakim
Yang dimaksud putusan disini adalah apa yang ditetapkan oleh hakim atas
suatu perkara dengan cara istimbath baik
dengan jalan ijtihad ataupun taqlid kepada pendapat madzhab tertentu. Adapun
landasan yang harus dipergunakan sebagai dasar putusan – putusan hakim adalah
nash al qur’an dan hadis dan juga ijma’ para ‘ulama’.
B.
Putusan Hakim Mujtahid
Mujtahid yaitu
orang yang dapat mengambil kesimpulan hukum – hukum dari dalil – dalilnya, dan
memiliki keahlian dalam hal itu. Mujtahid mutlak disyaratkan harus cerdas, baligh, dan adil,
mengetahui hukum – hukum yang ditetapkan oleh Al Qur’an dan As Sunnah. Hal itu
juga disertai dengan pengetahuan hukum terkait dengan kesepakatan ‘ulama’ juga,
baik dari hal yang cacat hukum ataupun hal-hal yang mendasari pemutusan suatu
perkara yang sesuai dengan syar’i.
Adapun jenis Mujtahid adalah sebagai berikut :
1.
Mujtahid Mutlaq : yaitu para Khulafaur Rasyidin.
2.
Mujtahid Mustaqil : yaitu para imam mazhab fiqih yang muktabar.
3.
Mujtahid fil Mazhab : yaitu lebih banyak mengikuti salah satu imam
mazhab tapi dalam beberapa masalah pokok berbeda pendapat dengan imamnya.
Contohnya Abu Yusuf, Muhamad Al Hasan dari mazhab hanafi, Al Muzany dari mazhab
Syafi’i.
4.
Mujtahid fil Masa’il : yaitu mempunyai ijtihad sendiri dalam
beberapa masalah cabang.
5.
Mujtahid Muqaiyad : yaitu tidak mengeluarkan ijtihad sendiri,
kecuali terhadap masalah-masalah yang belum dibahas oleh imam mazhab
sebelumnya.
C.
Putusan Hakim Muttabi’
Ittiba’ adalah “Mengambil suatu pendapat orang lain dengan mengetahui
dasar atau dalilnya, sebab pada dasarnya pengambilan itu dari dalil dan bukan dari mujtahid itu sendiri. Karena mengetahui dalil itu merupakan tuntutan syarat
ijtihad, sebab mengetahui benarnya dalil itu berkaitan juga dengan pengetahuan
tentang dalil yang menentangnya.
Lebih jelasnya lagi bahwa hakim muttabi’ adalah seorang hakim yang
memutuskan suatu perkara dengan berlandaskan pada mengambil suatu pendapat
orang lain dengan mengetahui dasar atau dalilnya, karena mengetahui dalil itu
merupakan tuntutan syarat ijtihad.
D.
Putusan Hakim Muqallid
Taqlid secara
bahasa diambil dari kata yg bermakna mengikatkan sesuatu di leher. Jadi orang
yg taqlid kepada seorang tokoh ibarat diberi tali yg mengikat leher utk ditarik
seakan-akan hewan ternak. Sedangkan menurut istilah taqlid arti beramal dgn
pendapat seseorang atau golongan tanpa didasari oleh dalil atau hujjah yg
jelas. Dari pengertian ini jelaslah bahwa taqlid bukanlah ilmu dan ini hanyalah
kebiasaan orang yg awam dan jahil. Dan Allah subhanahu wa ta’ala telah mencela sikap taqlid ini
dalam beberapa tempat dalam Al Qur’an.
Mukallaf yang memiilih taqlid
sebagai sumber dan cara melaksanakan taklid disebut muqallid. Sedangkan
mukallaf yang memilih ijtihad sebagai sumber dan cara melaksanakan taklid
disebut mujtahid. Mujtahid yang dijadikan sebagai rujukan disebut dengan
muqallad atau marja’ taqlid. Muqallid memikul tanggungjawab-tanggungjawab
sebagai berikut:
Menjadikan “bertaqlid” sebagai isu
di luar masalah-masalah fatwa. Dengan kata lain, bagi muqallid pemula, taqlid
kepada seorang mujtahid tidak boleh didasarkan pada taqlid akan tetapi harus
dengan ijtihad.
Kelompok 11 Mengenai
Hakim Untuk Non Muslim
ü Hakim bagi non muslim
ü Hakim non muslim
ü Undang-undag bagi non muslim
A.
Hukum – Hukum Peradilan Untuk Golongan Non Muslim
Orang – orang yang ghairu muslim (non muslim) di negara Islam ada dua macam
yaitu dzimmi dan musta’man.
Dzimmi yaitu mereka yang menikmati hidup di negara Islam sebagai sebagai
rakyat yang non muslim, maka mereka itu adalah termasuk bagian negara dalam
Negara Islam. Mereka mempunyai hak – hak yang sama dengan warga negara lain
yang muslim. Sehingga menurut jumhur para ulama tidak boleh diangkat sebagai
hakim secara mutlak dan putusan hukum antara orang dzimmi dengan dzimmi lainnya
dalam kasus – kasus yang berkaitan dengan muamalat mereka dan perkawinan mereka
dengan cara tahkim dan bukan qadla’. Maka tidak kita temukan adanya keterangan
bahwa orang dzimmi di masa Rasul saw., masa Sahabat, sampai masa – masa ada
yang menduduki jabatan qadla’, tetapi hakim – hakim secara keseluruhannya
adalah terdiri dari orang – orang Islam dan bagi orang dzimmi tidak ada
penugasan tentang jabatan qadla’ dalam urusan khusus untuk mereka.
Jelas pula, bahwa orang dzimmi tidak dapat menjadi hakim bagi kaum
muslimin, karena ketiadaan hak menguasai terhadap kaum muslimin, sedang
keahlian mengadili itu berkaitan dengan menjadi saksi menurut golongan Hanafi. Menurut kebanyakan ahli hukum Islam dalam Hukum Beracara peradilan Islam
bahwa seorang saksi itu mutlak harus beragama Islam kecuali dalam masalah wasiat
di tengah perjalanan. Sedangkan pada Hukum Acara Peradilan Umum tidak di tentukan
mengenai perbedaan agama tersebut Salah satu alat
pembuktian dalam Hukum Acara adalah keterangan saksi, keterangan
saksi di perlukan untuk menguatkan suatu gugatan untuk menghasilkan putusan
yang tepat. Keterangan saksi membutuhkan aturan yang tetap khususnya bagi Peradilan
Agama, sehingga tidak terjadi perbedaan dalam memutuskan perkara oleh hakim.
B.
Undang – undang yang wajib diterapkan
Undang – undang yang wajib diterapkan dan dijadikan dasar putusan adalah
syariat Islam, baik persengketaan itu terjadi antara orang – orang dzimmi
sendiri atau salah satu pihak dari mereka, karena firman Allah yang berbunyi :
فا حكم بينهم بما انزل الله
“Maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan.”
Sedangkan yang lain – lainnya dari ayat – ayat yang menunjukkan wajibnya
menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah.
Dan firman-Nya :
وان احكم بينهم بما انزل لله ولا تتبيع اهوا ءهم
واحذ ر هم ان يفتنو ك عن بعض ما انزل الله
“Dan
hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka, menurut apa yang diturunkan
Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati – hatilah
kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang
diturunkan Allah kepadamu”.
Kelompok 12 Mengenai
Peradilan Islam di Indonesia
ü Perundang-undangan Islam di Indonesia
ü Kompetensi PTUN
Absolut dan Relatif
ü Hukum Acara PA,
PTA dan MA
A.
Perundang-undangan Islam di Indonesia
Pengadilan Agama merupakan
salah satu dari empat jenis Pengadilan di Indonesia yang semuanya
bermuara ke Mahkamah Agung. Peradilan Agama adalah peradilan untuk orang yang
beragama Islam mengenai masalah tertentu
. Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang (a) perkawinan; (b) kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam; (c) wakaf dan shadaqah (Pasal 49).
Dalam UU No. 3/2006 yang merupakan revisi UU No. 7/1986, kewenangan
PA menjadi tujuh bidang, yaitu (1) perkawinan, (2) Kewarisan, (3) wakaf, (4)
hibah, (5) shadaqah, (6) zakat, dan (7) ekonomi syariah . Pasal 10 ayat (2) UU
No. 4 Tabun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa "Badan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam
Lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan
Tata Usaha Negara."
Jauh sebelum ini, yaitu tanggal l0 Juni 1991, telah terbit
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI) berdasarkan Instruksi Presiden RI No.
1 Tahun 1991. KHI terdiri dari tiga buku tentang Hukum Perkawinan, Hukum
Kewarisan, dan Hukum Perwakafan. Khusus menssgenai Buku III telah disempurnakan
menjadi UU No. UU No. 41/2004 tentang Wakaf. Buku I dan Buku II KHI juga sedang
mengalami revisi dan telah menjadi RUU dengan nama RUU Hukum Terapan Peradilan
Agama Bidang Perkawinan, dan RUU Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang
Kewarisan, dan cepat atau lambat kedua RUU ini tentu juga akan menjadi UU.
Hukum Islam dalam KHI ini tidak lain adalah kompilasi syariat Islam dalam
bidang perkawinan, kewarisan dan kewakafan. Sejak diterbitkan, KHI telah
digunakan sebagai hukum materiil di Peradilan Agama (PA) yang merupakan
Peradilan Syariat Islam di Indonesia.
B.
Kompetensi PTUN Absolut dan Relatif
Peradilan Tata Usaha Negara sebagai salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman,merupakan lingkungan peradilan yang berdiri sendiri, terpisah dari
Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Agama, sesuai dengan ketentuan
Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-UndangNomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Dalam pada itu kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dapat dibagi
menjadi dua macam, yaitu : kompetensi absolute dan kompetensi relative.
Kompetensi absolut
pengadilan adalah kewenangan badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara
tertentu dan secara mutlak tidak dapat diperiksa badan pengadilan lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai contoh
adalah Kompetensi absolut Pengadilan Pajak. Pengadilan Pajak merupakan badan
peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau
penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. Meskipun
Pengadilan Pajak masuk dalam lingkungan Peradilan TUN, akan tetapi kompetensi
absolutnya berbeda dengan kompetensi Pengadilan TUN. Kompetensi absolut
Peradilan TUN berbeda dengan lingkungan peradilan lainnya, misalnya dengan
Peradilan Umum yang memiliki kompetensi untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara perdata dan pidana. Dalam pada itu, kompetensi absolut Pengadilan Tata
Usaha Negara adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara atau Sengketa
Tata Usaha Negara. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 UU PTUN,
yaitu: ”Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap Sengketa Tata Usaha Negara”.
Sebagaimana dikemukakan diatas, bahwa Sengketa TUN memiliki ruang lingkup yang
lebih sempit dan lebih khusus bila dibandingkan dengan sengketa yang timbul
dalam lapangan hukum publik, karena Sengketa TUN itu sendiri hanya dapat timbul
manakala terdapat Keputusan Tata Usaha Negara. Sementara itu, masih pula
terdapat pembatasan-pembatasan tertentu yang dibuat oleh UU PTUN mengenai KTUN
manakah yang dapat digugat di PTUN. Secara singkat pembatasan tersebut dapat
dirumuskan: “KTUN = (Pasal 1 angka 3+Pasal 3 -(Pasal 2+Pasal 49).
1.
Kompetensi Relatif
Kompetensi relative pengadilan adalah kewenangan mengadili antar
pengadilan dalam satu lingkungan peradilan. Kewenangan tersebut terletak pada
pengadilan manakah yang berwenang memeriksa, memutus dan meneyelesaikan perkara
tertentu. Kompetensi relatif PTUN diatur dalam Pasal 54 ayat (1) sampai ayat
(6). Pada dasarnya gugatan didaftarkan pada tempat kediaman Tergugat (actor
sequitur forum rei) dengan pengecualian-pengecualian sebagaimana diatur dalam
Pasal 54, sebagai berikut:
(1) Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan
yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
(2) Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan, gugatan
diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah
satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
(3) Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah
hukum Pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke
Pengadilan yang daerah hukummnya meliputi tempat kediaman penggugat untuk
selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.
(4) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha
Negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan dapat
diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman penggugat.
(5) Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada di luar
negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.
(6) Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat di
luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan tergugat.
C.
Hukum Acara PA, PTA dan MA
1. Hukum acara PA
(Pengadilan Agama)
Berlakunya UU
No. 7/1989, secara konstitusional Pengadilan Agama merupakan salah satu Badan
Peradilan yang disebut dalam pasal 24 UUD 1945. Kedudukan dan kewenangannya
adalah sebagai Peradilan Negara dan sama derajatnya dengan Peradilan lainnya,
mengenai fungsi Peradilan Agama dibina dan diawasi oleh Mahkamah Agung sebagai
Pengadilan Negara Tertinggi, sedangkan menurut pasal 11 (1) UU No. 14/1970
mengenai Organisasi, Administrasi dan Finansiil dibawah kekuasaan masing-masing
Departemen yang bersangkutan. Suasana dan peran Pengadilan Agama pada masa ini
tidaklah berbeda dengan masa kemerdekaan atau sebelumnya karena Yurisdiknya tetap
kabur baik dibidang perkawinan maupun dibidang waris. Hukum Acara yang berlaku
tidaklah menentu masih beraneka ragam dalam bentuk peraturan perundang-undangan
bahkan juga hukum acara dalam hukum tidak tertulis yaitu hukum formal Islam
yang belum diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
2.
Hukum Acara PTA (Pengadilan Tinggi Agama)
Pengadilan Tinggi Agama
merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang
berkedudukan di ibu kota Provinsi. Sebagai Pengadilan Tingkat Banding, Pengadilan
Tinggi Agama memiliki tugas dan wewenang untuk mengadili perkara yang menjadi
kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding.
Selain itu,
Pengadilan Tinggi Agama juga bertugas dan berwenang untuk mengadili di tingkat
pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Agama di
daerah hukumnya.
Pengadilan
Tinggi Agama dibentuk melalui Undang-Undang dengan daerah hukum meliputi
wilayah Provinsi. Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari Pimpinan (Ketua
dan Wakil Ketua), Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris.
Dasar Hukum :
1.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;2,
2.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
3.
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
3.
Hukum acara MA (Mahkama Agung)
Mahkamah Agung (disingkat MA) adalah lembaga
tinggi negara
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah
Konstitusi dan bebas dari
pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya. Mahkamah Agung membawahi badan
peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara. Adapun tugas dan Fungsi Mahkama Agung adalah :
1.
Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan
pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum
melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan
undang-undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan secara adil, tepat dan
benar.
2.
Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi,
Mahkamah Agung berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan
terakhir .