BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Asas Hokum Bisnis
Islam dan Asas-asas Hukum Bisnis Islam
1.Pengertian Asas Hukum Bisnis
Islam
Perkataan
asas berasal dari bahasa arab asasun, yang artinya dasar, basis,
pondasi. Kalau dihubungkan dengan sistem berfikir, yang dimaksud dengan asas
adalah landasar berfikir yang sangat mendasar. Oleh karena itu, Di dalam bahasa
Indonesia, asas mem[unyai arti (1) dasar, alas, pondamen (Poerwadarminta,
1976:60).(2) Kebenaran yang menjadi tumpuan berfikir atau pendapat.(3) cita-cita
yang menjadi dasar organisasi atau Negara[1].
Jika asas dihubungkan dengan hokum,
yang dimaksud dengan asas adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan
berfikir dan alas an pendapat, terutama, dalam penegakan dan pelaksanaan hokum.[2]
Sedangkan Bisnis memiliki pengetian kerjasama
dalam melakukan pekerjaan tertentu, yang terjadi antara pihak pertama dan pihak
kedua dalam arti dua orang yang bersekutu.Dari pernyataan diatas dapat kita
simpulkan bahwa pengertian asas hokum bisnis islam adalah tata cara atau
dasar-dasar yang mengatur tentang kerjasama dalam prinsip syariat islam.
Akad
atau kontrak berasal dari bahasa Arab yang berarti ikatan atau simpulan baik
ikatan Nampak (hissy) maupun tidak
Nampak (Ma’nawy)[3].Sedangkan
akad menurut istilah adalah suatu kesepakatan atau komitment bersama baik
lisan, Isyarat, maupun tulisan antara dua pihak atau lebih yang memiliki
implikasi hokum nyang mengikat untuk melaksanakannya.[4]Dalam
hokum islam istilah kontrak tidak dibedakan dengan perjanjian, keduanya identik
dan disebut akad. Sehingga dalam hal ini akad didefinisikan sebagai pertemuan ijab yang dinyatakan oleh salah satu
pihak dengan Kabul dari pihak lain secara sah menurut syarak yang tampak akibat
hukumnya pada obyeknya.[5]
Hukum
kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu contract of law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan overeenscomstrecht.[6]Michael
D. Bayles mengartikan contract of law atau
hokum kontrak adalah “Might than be taken
to be the law pertaining to enporcement of promise or agreement”.[7]Yaitu
sebagai aturan hokum yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian atau
persetujuan.
Dari
definisi hokum kontrak diatas dapat dikemukakan unsure-unsur yang tercantum
dalam hokum kontrak yaitu :
a. Adanya
kaidah hokum
b. Adanya
subyek hokum
c. Adanya
prestasi
d. Adanya
kata sepakat
e. adanya
akibat hukum[8]
Adapun
yang dimaksud dengan istilah hokum ontrak syari’ah disini adalah keseluruhan
dari kaidah-kaidah hokum yang mengatur hubungan hokum di bidang mu’amalah
khususnya perilaku dalam menjalankan hubungan ekonomi antara dua pihak atau
lebih bedasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hokum secara tertulis
berdasarkan hokum islam.[9]Kaidah-kaidah
hokum yang berhubungan langsung dengan konsep hokum kontrak syari’ah di sini,
adlaah yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadist maupun hasil interpretasi
terhadap keduanya, serta kaidah-kaidah fiqih.[10]
Tahap pracontractual
dalam hokum kontrak syari’ah adalah perbuatan sebelum terjadi kontrak yaitu
tahap bertemunya ijab dan Kabul, sedangkan tahap postcobtractual adalah pelaksanaan perjanjian termasuk timbulnya
akibat hokum dari kontrak tersebut.
2.Asas-asas Hokum Bisnis Islam
Dalam
hokum kontrak syari’ah terdapat asas-asas perjanjian yang melandasi penegakan
dan pelaksanaannya. Asas-asas perjanjian tesebut di klasifikasi menjadi
asas-asas perjanjian yang tidak berakibat hokum dan sifatnya umum dan asas-asas
perjanjian yang berakibat hokum dan sifatnya khusus, adapun asas-asas
perjanjian yang tidak berakibat hokum yang bersifat umum adalah:
a.Asas Ilahiah atau Asas Tauhid
Setiap
tingkah laku dan perbuatan manusia tidak akan luput dari ketentuan Allah SWT.
Seperti yang disebutkan dalam Q.S.al-Hadid ayat 4 yang artinya “DIa bersama
kamu dimana saja kamu berada, Dan Allah maha melihat apa yang kamu
kerjakan”.Kegiatan muamalah termasuk perbuatan perjanjian, tidak pernah akan
lepas dari nilai-nilai ketauhidan. Dengan demikian manusia memiliki tanggung
jawab akan hal itu. Tanggung jawab kepada masyarakat, Tanggung jawab pada pihak
kedua, tanggung jawab terhadap diri sendiri dan tanggung jawab kepada ALLAH
SWT. Akibat dari penerapan asas ini, manusia tidak akan berbuat sekehendak
hatinya karena segala perbuatannya akan mendapat balasan dari ALLAH SWT.[11]
b.Asas Kebolehan (Mabda al-Ibahah)
Terdapat kaidah fiqhiyah yang
artinya,”Pada dasarnya segala sesuatu itu dibolehkan sampai terdapat dalil yang
melarang”.[12]Kaidah
fiqih tersebut bersumber pada dua hadist berikut ini :
Hadist riwayat al Bazar dan
at-Thabrni yang artinya:
“Apa-apa yang dihalalkan ALLAH adalah halal,
dan apa-apa yang di haramkan ALLAH adalah haram, dan apa-apa yang didiamkan
adalah dimaafkan. Maka terimalahdari ALLAH pemaaf-Nya. SUngguh ALLAH itu tidak
melupakan sesuatu.”[13]
Hadist
riwayat Daruquthni, dihasankan oleh an-Nawawi yang artinya:
“Sesungguhnya ALLAH telah mewajibkan beberapa
kewajiban, maka janganlah kamu sia-siakan dia dan ALLAH telah memberikan
beberapa batas, maka janganlah kamu langgar dia, dan ALLAH telah mengharamkan
sesuatu makajanganlah kamu pertengkarkan dia, dan ALLAH telah mendiamkan
beberapa hal, maka janganlah kamu perbincangkan dia.[14]
Kedua hadist diatas menunjukkan
bahwa segala sesuatu adalah boleh atau mubah
dilakukan. Kebolehan ini dibatasi sampai ada dasar hokum yang melarangnya. Hal
ini berarti bahwa islam member kesempatan luas kepada yang berkepentingan untuk
mengembangkan bentuk dan macam transaksi baru sesuai dengan perkembangan zaman
dan kebutuhan masyarakat.
c.Asas keadilan ( Al’Adalah )
Dalam Q.S Al-Hadid ayat 25
disebutkan bahwa Allah berfirman yang artinya”Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti
yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-kitab dan Neraca
(keadilan) supaya manusia dapat melaksakan keadilan”. Dalam asas ini para
pihak yang melakukan kontrak dituntut untuk berlaku benar dalam mengungkapkan
kehendak dan keadilan, memenuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi
semua kewajibannya.[15]
d.Asas persamaan atau Kesetaraan
Hubungan
muamalah dilakukan untuk memenuhi kebutuhana hidup manusia.sering kali terjadi
bahwa seseorang memiliki kelebihan dari yang lainnya.Oleh karena itu sesame
manusia masing-masing memilki kelebihan dan kekurangan.Dalam melakukan kontrak
para pihak menentukan hak dan kewajiban masing-masing didasarkan pada asas
persamaan dan kesetaraan.[16]
e.Asas Kejujuran dan Kebenaran (Ash
Shidiq)
Jika
kejjuran ini tidak diterapkan dalam kontrak, maka akan merusak legalitas
kontrak dan menimbulkan perselisihan diantara para pihak.[17]Suatu
perjanjian dikatakan benar apabila memiliki manfaatbagi para pihak yang
melakukan perjanjian dan bagi masyarakat dan lingkungannya. Sedangkan
perjanjian yang mendatangkan madharat
dilarang.
f.Asas Tertulis (Al Kitabah)
SUatu
perjanjian hendaknya dilakukan secara tertulis agar dapat dijadikan sebagai
alat bukti apabila di kemudian hari terdapat persengketaan.[18]
g.Asas Iktikad Baik (Asas
Kepercayaan)
Asas
ini dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi,
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”.
h.Asas Kemanfaatan dan Kemaslahatan
Asas ini mengandung pengertian bahwa
semua bentuk perjanjian yang dilakukan harus mendatangkan kemanfaatan dan
kemaslahatan baik para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian maupun bagi
masyarakat sekitar meskipun tidak terdapat ketentuan dalam AL-Quran dan
Al-Hadist.[19]
i.Asas Keseimbangan Prestasi
Yang
dimaksud dengan asas ini adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak
memenuhi dan melaksanakan perjanjian.[20]Dalam
hal ini dapat diberikan ilustrasi, kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut
prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui harta
debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu
dengan iktikad baik.
j.Asas Kepribadian (personalitas)
Asas kepribadian merupakan asas yang
menentukan bahwa sesorang yang akan
melakukan dan atau membuat
kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan.Hal ini dapat dipahami dari
bunyi pasal 1315 dan pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi:
“Pada umumnya sesorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain
untuk dirinya sendiri.”Dengan demikian asas kepribadian dalam perjanjian
dikecualikan apabila perjanjian tersebut dilakukan seseorang untuk orang lain
yang memberikan kuasa bertindak hokum untuk dirinya atau orang tersebut
berwenang atas nya.
BAB III
PENUTUP DAN KESIMPULAN
Sebagai
penutup perlu dikemukakan kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut:
Dalam hokum kontrak syariah, paling
tidak terdapat 14 macam asas perjanjian yang dapat digunakan sebagai landasan
berfikir dan bertransaksi dalam penegakan hokum kontrak syariah tersebut.Dalam
merespon perkembangan bentuk-bentuk baru dalam bertransaksi sudah seharusnya
ahli fiqih mu’amalah disamping menguasai prinsip-prinsip dan asas hokum islam
itu sendiri, juga mengetahui praktek-praktek pada umumnya. hal ini penting
dilakuakan, karena bagaimana mungkin penetapan hokum atas bentuk-bentuk
mu’amalah kontemporer itu sendiri tidak dipahami, sehingga penguasaan kedua
metodologi kajian fiqih mu’amalah sudah saatnya diimplementtasikan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad Daud (2000). Asas-asas
Hukum Islam,Cet. Ke-5 Jakarta: CV. Rajawali.
Anwar,Syamsul (1992). “Asas kebebasan berkontrak dalam
sunnah Nabi”, dalam Jurnal Asy Syir’ah, No.3
tahun XV, (Yogyakarta: Hakultas Syari’ah IAIN Sunan Kali Jaga.
Bayles, Michael, D
(1987). Principle of law A normative
Analysis. Holland Riding Publising Company Dordrecht.
Bukhari, Abu abdillah
Muhammad ibn Ismail al- (t.t.). shahih
al-Bukhari. Surabaya: Ahmad Nabhan.
Dewi, Gemala dkk
(2006). Hukum perikatan islam di
Indonesia. Jakarta: Kencana
Salim, H.S. (2006). HUkum Kontrak: Teori dan penyusunan kontrak,
Cet. Ke-4. Jakarta:Sinar Grafika.
[1]
Prof.H.Mohammad Daud Ali.S.H. Hukum Islam
pengantar ilmu hokum dan tata hokum islam di ndonesia, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2000). h.114
[2]
Ibid. h.114
[3]
Fayruz Abadyy Majd al-Din Muhammad Ibn Ya’qup. al-Qamus al-Muhit, Jilid I. (Beirut: D Jayl), h.327.
[4]
Nuhammad Salam Madkur (1963). al-Madkhal
al-Fiqh al-Islamyy. (ttp: Dar al-Nahdah al-‘Arabiyyah), h.506.
[5] Syamsul
Anwar . Kontrak dalam islam, Makalah
disampaikan pada Pleatihan Penyelesaian Senketa ekonomi syariah di pengadilan
Agama. (Yogyakarta: kerjasama Mahkamah Agung RI Dan Progam Pascasarjana Ilmu
Hukum Fakultas Hukum UIII, 2006), h. 7.
[6]
Salim H.S , Hukum Kontrak: Teori dan
teknik penyusunan kontrak, Cetakan ke-4. (Jakarta: Sinar Grafika,2006).h.3
[7]
Michael D.Bayles, principles of law a
normative analysis, (Holland: Riding Publishing Company Dordrecht, 1987)
[8]
Salim H.S hokum kontrak…..,h.4-5
[9]
Gemala Dewi dkk. Hukum Perikatan Islam di
Indonesia, cet-2. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h.3.
[10] Ibid.Lihat juga Syamsul Anwar (2006). Kontrak dalam Islam…, h. 1-4.
[11]
Muhammad SYakir Aula, Asuransi Syari’ah
(Life and General):Konsep dan Sistim
Operasional, Cet. 1. (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h.723-727.
[12]
Imam Musbikin. Qawa’id AL-Fiqhiyah, Cet.
1. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), lihat Syamsul Anwar (2006). Kontrak dalam islam….,h. 12.
[13]
ibid.
[14] Ibid. h.59
[15]
Gemala Dewi (2006). Hukum Perikatan….,
h. 33.
[16] Ibid, h.32-33
[17] Ibid. h. 37
[18] Ibid,Lihat juga Mohammad Daud Ali. Asas-asas Hukum Islam. (Jakarta:
CV.Rajawali, 1990), h. 124.
[19]
M.Tamyiz Muharrom(2003),”Kontrak Kerja: Antara Kesepakatan dan Tuntutan
Pengembangan SDM”, Dalam Al Mawarid
Jurnal Hukum islam, Edisi X tahun 2003, (Yogyakarta: Progam studi Syari’ah FIAI
UII).
[20]
Salim H.S (2006). Hukum Kontrak……,h.
13-14, Lihat juga Syamsul Anwar (2006). Kontrak
Dalam Islam…..,h.12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar