BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pelembagaan
hukum Islam di Indonesia mengalami perjalanan yang sangat alot. Keberhasilannya
dimulai dengan goalnya UU No. 1 tahun 1974 yang telah mengalami proses 24 tahun
sejak mulai perancangan, disusul dengan UU No. 7 tahun 1989 yang secara resmi
mengakui eksistensi Peradilan Agama serta disusul oleh perundang-undangan
lainnya. Namun, secara keseluruhan, peraturan-peraturan yang diraih hukum Islam
itu belum bisa memuaskan kebutuhan umat. Pun dengan Peradilan Agama pasca
lahirnya UU Nomor 7 tahun 1989, dalam hukum materil belum mempunyai panduan
tetap yang dapat dijadikan sumber hukum bagi para hakim Peradilan Agama. Hal
menimbulkan tidak adanya kepastian hukum di lingkungan peradilan ini.
B. Rumusan
Masalah
A. Bagaimanakah
Perundang-undangan Islam di Indonesia?
B. Bagaimanakah
Kompetensi Absolut dan Relatifnya?
C. Bagaimanakah
Hukum Acara PA, PTA, dan MA?
C. Tujuan
A. Supaya
Dapat Memahami Bagaimanakah Perundang-undangan Islam di Indonesia?
B. Supaya
Dapat Memahami Bagaimanakah Kompetensi Absolut dan Relatifnya?
C. Supaya
Dapat Bagaimanakah Hukum Acara PA, PTA, dan MA?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Perundang-undangan
Islam di Indonesia
Sejak
Negara ini berdiri, Indonesia telah menghasilkan berbagai peraturan
perundang-undangan yang berujung kepada hukum atau syariat Islam bagi warga
masyarakat beragama Islam. Misalnya adalah UU No. 1/1974 yang mengatur sahnya
perkawinan berdasarkan hukum agama, dan bagi ummat Islam hukum agama adalah
hukum Islam. Berdasarkan UU ini, maka perkawinan penduduk hanya sah bila
dilakukan menurut keyakinan agamanya dan setelah itu dicatatkan pada negara.
Bagi warga beragama Islam, pencatatan tersebut di Kantor Urusan Agama, dan bagi
warga non-muslim di catatkan di Kantor Catatan Sipil. UU No. 7/1989 tentang
Peradilan Agama mengatur tentang salah satu pengadilan negara di Indonesia
berdasarkan hukum Islam.[1]
Pengadilan
Agama merupakan salah satu dari empat
jenis Pengadilan di Indonesia yang semuanya bermuara ke Mahkamah Agung.
Peradilan Agama adalah peradilan untuk orang yang beragama Islam mengenai masalah tertentu . Pengadilan Agama
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang (a) perkawinan; (b)
kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; (c) wakaf
dan shadaqah (Pasal 49).
Dalam UU
No. 3/2006 yang merupakan revisi UU No. 7/1986, kewenangan PA menjadi tujuh
bidang, yaitu (1) perkawinan, (2) Kewarisan, (3) wakaf, (4) hibah, (5)
shadaqah, (6) zakat, dan (7) ekonomi syariah . Pasal 10 ayat (2) UU No. 4 Tabun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa "Badan peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam Lingkungan
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha
Negara."
Setelah Piagam Jakarta, istilah syariat
masuk pertama kali ke dalam khazanah hukum Indonesia melalui UU No. 10 Tahun
1998 UU yang merevisi UU No. 7 Tahun 1982 tentang Perbankan di mana dinyatakan
dalam Pasal 1 ayat (12) tentang pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah. Dalam
pasal ini diterangkan dengan jelas bahwa yang dimaksud prinsip syariah adalah
aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam. Jadi istilah syariah di sini
disamakan dengan hukum Islam.
Jauh sebelum ini, yaitu tanggal l0 Juni 1991, telah terbit Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia (KHI) berdasarkan Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991.
KHI terdiri dari tiga buku tentang Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, dan Hukum
Perwakafan. Khusus menssgenai Buku III telah disempurnakan menjadi UU No. UU
No. 41/2004 tentang Wakaf. Buku I dan Buku II KHI juga sedang mengalami revisi
dan telah menjadi RUU dengan nama RUU Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang
Perkawinan, dan RUU Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Kewarisan, dan cepat
atau lambat kedua RUU ini tentu juga akan menjadi UU. Hukum Islam dalam KHI ini
tidak lain adalah kompilasi syariat Islam dalam bidang perkawinan, kewarisan
dan kewakafan. Sejak diterbitkan, KHI telah digunakan sebagai hukum materiil di
Peradilan Agama (PA) yang merupakan Peradilan Syariat Islam di Indonesia.
Istilah
syariat juga muncul dalam Pasal 25 ayat (1), (2) dan (3) UU No. 18 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Naggroe Aceh
Darussalam. Pasal ini mengatur tentang Peradilan Syariat Islam dengan nama
Mahkamah Syariyah dengan kewenangan berdasarkan syariat Islam dalam sistem
hukum nasional yang diatur secara khusus dengan Qanun Aceh sebagai Perda
(Peraturan Daerah) khusus otonomi Aceh.
Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa salah satu kewenangan Peradilan Agama adalah memutus sengketa dalam bidang ekonomi syariah. Hukum ekonomi syariah yang dimaksud meliputi sebelas jenis, yaitu a. bank syariah; b. lembaga keuangan makro syariah; c. asuransi syariah; d. reasuransi syariah; e. reksadana syariah; f. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; g. sekuritas syariah; h. pembiayaan syariah; i. pegadaian syariah; j. dana pensiun lembaga keuangan syariah; dan k. bisnis syariah. Dengan kesebelas jenis hukum ekonomi syariah ini berarti hampir seluruh cakupan fiqh mu'amalat dalam syariat Islam telah menjadi hukum positif di Indonesia.
Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa salah satu kewenangan Peradilan Agama adalah memutus sengketa dalam bidang ekonomi syariah. Hukum ekonomi syariah yang dimaksud meliputi sebelas jenis, yaitu a. bank syariah; b. lembaga keuangan makro syariah; c. asuransi syariah; d. reasuransi syariah; e. reksadana syariah; f. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; g. sekuritas syariah; h. pembiayaan syariah; i. pegadaian syariah; j. dana pensiun lembaga keuangan syariah; dan k. bisnis syariah. Dengan kesebelas jenis hukum ekonomi syariah ini berarti hampir seluruh cakupan fiqh mu'amalat dalam syariat Islam telah menjadi hukum positif di Indonesia.
Kemunculan ekonomi syariah melayani kecenderungan hukum Islam yang
berlaku sejak awal kemerdekaan Indonesia. Selama ini, keberlakuan hukum Islam
hanya menyangkut warga yang beragama Islam. Khusus mengenai ekonomi syariah,
begitu juga sengketa mengenai ekonomi syariah, tidak hanya menyangkut warga
negara yang beragama Islam, tetapi mencakup semua warga negara tanpa melihat
perbedaan agama.[2]
Dengan
melibatkan diri dalam kegiatan ekonomi syariah, maka baik muslim maupun
non-muslim, telah menundukkan dirinya kepada ketentuan hukum ekonomi syariah.
Transaksi ekonomi syariah pada umumnya berdasarkan akad atau perjanjian di
antara para pihak, dan dalam hal terjadi sengketa, maka akad atau perjanjian
itulah yang menjadi konstitusi bagi para pihak. Dalam hal ini, kemungkinan
sengketa tidak hanya terjadi antara sesama muslim, tetapi juga antara muslim
dan non muslim, bahkan antara sesama non muslim, bila mereka adalah pihak-pihak
yang terlibat dalam akad atau perjanjian syariah.
Peradilan Tata Usaha Negara sebagai
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman,merupakan lingkungan peradilan yang
berdiri sendiri, terpisah dari Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan
Agama, sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-UndangNomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Menurut Thorbecke berkaitan dengan
masalah kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara, bilamana pokok sengketa
(fundamentum petendi) terletak dilapangan hukum publik yang berwenang memutuskannya
adalah Hakim Administrasi. Sedangkan menurut Buys ukuran yang digunakan untuk
menentukan kewenangan mengadili Hakim Administrasi Negara ialah pokokdalam
perselisihan (objectum litis). Bilamana yang bersangkutan dirugikan dalam hak
privatnya dan oleh karena itu meminta ganti kerugian, jadi objectum litis-nya
adalah hak privat, maka perkarayang bersangkutan harus diselesaikan oleh hakim
biasa (Riawan Tjandra, 1995: 27).
KompetensiPeradilan Tata Usaha Negara
menurut UU PTUN jauh lebih sempit dari pada pembatasan yang dibuat oleh
Thorbecke dan Buys. Tidak semua perkara yang pokok sengketanya terletak dalam
lapangan hukum publik (Hukum Administrasi Negara) termasuk dalam kompetensi
Peradilan Tata Usaha Negara. Secara teoritis, realisasi Perbuatan Tata Usaha
Negara (perbuatan administrasi negara) dapat digolongkan dalam tiga hal,
yaitu : mengeluarkan keputusan (beschikking), mengeluarkan peraturan (regeling)
dan melakukan perbuatan materiil (materiele daad). Adanya suatu sengketa dalam
bidang administrasi negara (secara umum) tentu saja akan muncul akibat dari
pelaksanaan tugas dan kewenangan Pejabat Administrasi Negara (Pejabat TUN) yang
terdiri dari tiga hal tersebut diatas. Artinya tanpa adanya perbuatan
administrasi (termasuk didalamnya tindakan pasif), tentu saja tidak akan
mungkin terjadi sengketa administrasi. Dari ketiga perbuatan administrasi
Negara tersebut manakala dianggap merugikan rakyat pencari keadilan, maka
penyelesaian sengketa di pengadilannya masuk dalam beberapa kompetensi peradilan.
Sengketa/perkara akibat dikeluarkannya regeling (Peraturan Perundang- undangan)
diselesaikan di Mahkamah Konstitusi untuk Undang-Undang dan Mahkamah Agung
untuk Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang. Sengketa yang timbul
akibat perbuatan materiil diselesaikan di Pengadilan Negeri dalam perkara
perdata. Sedangkan sengketa timbul akibat dikeluarkannya keputusan
(beschikking) diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara. Dengan catatan
tidak semua keputusan yang dibuat oleh Pejabat TUN dapat diselesaikan di PTUN.
Artinya ada pembatasan-pembatasan tertentu yang dibuat oleh UU PTUN. Secara
singkat pembatasan tersebut dapat dirumuskan: “KTUN = (Pasal 1 angka 3 + Pasal
3)-(Pasal 2+Pasal 49)´. Uraian selengkapnya mengenai apa saja Keputusan yang dapat
digugat di PTUN dibahas dalam Bab Subyek dan Obyek Sengketa TUN. Wewenang
Peradilan Tata Usaha Negara adalah mengadili Sengketa Tata Usaha Negara antara
orang atau badan hukum privat dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
(Pasal 4 UU PTUN).[3]
Sengketa
Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha
Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1angka 5 UU PTUN).
Dalam pada itu kompetensi Peradilan Tata
Usaha Negara dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu : kompetensi absolute dan
kompetensi relative.
1.
Kompetensi absolut
pengadilan adalah kewenangan badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara
tertentu dan secara mutlak tidak dapat diperiksa badan pengadilan lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai contoh
adalah Kompetensi absolut Pengadilan Pajak. Pengadilan Pajak merupakan badan
peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau
penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. Meskipun
Pengadilan Pajak masuk dalam lingkungan Peradilan TUN, akan tetapi kompetensi
absolutnya berbeda dengan kompetensi Pengadilan TUN. Kompetensi absolut
Peradilan TUN berbeda dengan lingkungan peradilan lainnya, misalnya dengan
Peradilan Umum yang memiliki kompetensi untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara perdata dan pidana.
Dalam pada itu, kompetensi absolut
Pengadilan Tata Usaha Negara adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara atau Sengketa Tata Usaha Negara. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 4 UU PTUN, yaitu: ”Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap Sengketa
Tata Usaha Negara”. Sebagaimana dikemukakan diatas, bahwa Sengketa TUN memiliki
ruang lingkup yang lebih sempit dan lebih khusus bila dibandingkan dengan
sengketa yang timbul dalam lapangan hukum publik, karena Sengketa TUN itu
sendiri hanya dapat timbul manakala terdapat Keputusan Tata Usaha Negara.
Sementara itu, masih pula terdapat pembatasan-pembatasan tertentu yang dibuat oleh
UU PTUN mengenai KTUN manakah yang dapat digugat di PTUN. Secara singkat
pembatasan tersebut dapat dirumuskan: “KTUN = (Pasal 1 angka 3+Pasal 3 -(Pasal
2+Pasal 49).
2.
Kompetensi Relatif
Kompetensi relative pengadilan
adalah kewenangan mengadili antar pengadilan dalam satu lingkungan peradilan.
Kewenangan tersebut terletak pada pengadilan manakah yang berwenang memeriksa,
memutus dan meneyelesaikan perkara tertentu. Kompetensi relatif PTUN diatur
dalam Pasal 54 ayat (1) sampai ayat (6). Pada dasarnya gugatan didaftarkan pada
tempat kediaman Tergugat (actor sequitur forum rei) dengan
pengecualian-pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 54, sebagai berikut:[4]
(1) Gugatan sengketa Tata Usaha
Negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi
tempat kedudukan tergugat.
(2) Apabila tergugat lebih dari satu
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah
hukum Pengadilan, gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
(3) Dalam hal tempat kedudukan
tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman penggugat,
maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukummnya meliputi tempat
kediaman penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang
bersangkutan.
(4) Dalam hal-hal tertentu sesuai
dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara yang bersangkutan yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang
yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.
(5) Apabila penggugat dan tergugat
berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di
Jakarta.
(6) Apabila tergugat berkedudukan di
dalam negeri dan penggugat di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan
di tempat kedudukan tergugat.
C.
Hukum Acara PA,
PTA dan MA
1.Hukum
acar PA (Pengadilan Agama)
Pengadilan Agama merupakan kerangka
sistim dan tata hukum Nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945. Untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan
sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 14/1970 diperlukan adanya perombakan
yang bersifat mendasar terhadap segala perundang-undangan yang mengatur Badan
Peradilan Agama tersebut.
Berlakunya
UU No. 7/1989, secara konstitusional Pengadilan Agama merupakan salah satu
Badan Peradilan yang disebut dalam pasal 24 UUD 1945. Kedudukan dan
kewenangannya adalah sebagai Peradilan Negara dan sama derajatnya dengan
Peradilan lainnya, mengenai fungsi Peradilan Agama dibina dan diawasi oleh
Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, sedangkan menurut pasal 11
(1) UU No. 14/1970 mengenai Organisasi, Administrasi dan Finansiil dibawah
kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan. Suasana dan peran
Pengadilan Agama pada masa ini tidaklah berbeda dengan masa kemerdekaan atau
sebelumnya karena Yurisdiknya tetap kabur baik dibidang perkawinan maupun
dibidang waris. Hukum Acara yang berlaku tidaklah menentu masih beraneka ragam
dalam bentuk peraturan perundang-undangan bahkan juga hukum acara dalam hukum
tidak tertulis yaitu hukum formal Islam yang belum diwujudkan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan.[5]
Pada
tahun 1989 lahirlah UU No.7 tahun 1989 yang diberlakukannya tanggal 29 Desember
1989, kelahiran undang-undang tersebut tidaklah mudah sebagaimana yang
diharapkan akan tetapi penuh perjuangan dan tantangan dengan lahirnya UU No.7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah sebagi tonggak monumen sejarah
Pengadilan Agama terhitung tanggal 29 Desember 1989 tersebut. Lahirnya UU No. 7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah mempertegas kedudukan dan kekuasaan
Peradilan Agama sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 UU No.14 tahun 1970 tentang
ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman juga memurnikan fungsi dan
susunan organisasinya agar dapat mencapai tingkat sebagai lembaga kekuasaan
kehakiman yang sebenarnya tidaklah lumpuh dan semu sebagaimana masa sebelumnya.
Disamping itu lahirnya UU tersebut menciptakan kesatuan hukum Peradilan Agama dan
tidak lagi berbeda-beda kewenangan dimasing-masing daerah di lingkungan
Peradilan Agama. Peradilan Agama baik di Jawa-Madura maupun diluar Jawa-Madura
adalah sama kedudukan dan kewenangan baik hukum formil maupun materiilnya.
Dengan demikian Peradilan Agama telah sama kedudukannya dengan Peradilan
lainnya sebagaimana dalam pasal 10 (1) UU No.14 tahun 1970.[6]
2. Hukum
Acara PTA (Pengadilan Tinggi Agama)
Pengadilan
Tinggi Agama merupakan
sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu
kota Provinsi. Sebagai Pengadilan Tingkat Banding, Pengadilan Tinggi Agama
memiliki tugas dan wewenang untuk mengadili perkara yang menjadi kewenangan
Pengadilan Agama dalam tingkat banding.
Selain itu, Pengadilan Tinggi Agama
juga bertugas dan berwenang untuk mengadili di tingkat pertama dan terakhir
sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Agama di daerah hukumnya.
Pengadilan Tinggi Agama dibentuk
melalui Undang-Undang dengan daerah hukum meliputi wilayah Provinsi. Susunan
Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari Pimpinan (Ketua dan Wakil Ketua), Hakim
Anggota, Panitera, dan Sekretaris.
Dasar Hukum :
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama;2,
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
3. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.
3. Hukum acara MA (Mahkama Agung)
Mahkamah Agung (disingkat MA) adalah lembaga tinggi negara
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman
bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi
dan bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya. Mahkamah Agung
membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara.
Tugas
dan Fungsi Mahkama Agung adalah :
1. Sebagai
Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang
bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan
peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah
negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar.
2.
Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung
berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir
-
semua sengketa tentang kewenangan mengadili.
-
permohonan
peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap (Pasal 28, 29,30,33 dan 34 Undang-undang Mahkamah Agung No. 14 Tahun
1985)
-
semua
sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal
perang Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan
Pasal 78 Undang-undang Mahkamah Agung No 14 Tahun 1985).
3. Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil,
yaitu wewenang menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan dibawah
Undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya
(materinya) bertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih tinggi (Pasal
31 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
Dan masih banyak
tugas dan fungsinya yg lain.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Peradilan
agama bercita-cita untuk dapat memberikan pengayoman dan pelayanan hukum kepada
masyarakat. Agar pengayoman hukum dan pelayanan hukum tersebut dapat
terselenggara dengan baik, diperlukan perangkat sebagai berikut: Kelembagaan
Peradilan Agama yang mandiri sebagaimana lingkungan peradilan yang lain yang
secara nyata didukung dengan sarana dan prasarana serta tatalaksana yang
memadai dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti
yang telah kita jelaskan sebelumnya. Materi Hukum Hukum Islam sebagai hukum
materiil peradilan agama yang dituangkan dalam ketentuan perundang-undangan
yang jelas. Demikian pula dengan hukum formil peradilan agama perlu
dikembangkan. Personil dalam melaksanakan tugas kedinasan ia sebagai aparat
penegak hukum yang profesional, netral (tidak memihak) dan sebagai anggota
masvarakat ia orang yang menguasai masalah keislaman, yang menjadi panutan dan
pemersatu masyarakat sekelilingnya serta punya integritas sebagai seorang
muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar