Jumat, 08 Maret 2013

Perundang-undangan islam dan kompetensi absolut


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pelembagaan hukum Islam di Indonesia mengalami perjalanan yang sangat alot. Keberhasilannya dimulai dengan goalnya UU No. 1 tahun 1974 yang telah mengalami proses 24 tahun sejak mulai perancangan, disusul dengan UU No. 7 tahun 1989 yang secara resmi mengakui eksistensi Peradilan Agama serta disusul oleh perundang-undangan lainnya. Namun, secara keseluruhan, peraturan-peraturan yang diraih hukum Islam itu belum bisa memuaskan kebutuhan umat. Pun dengan Peradilan Agama pasca lahirnya UU Nomor 7 tahun 1989, dalam hukum materil belum mempunyai panduan tetap yang dapat dijadikan sumber hukum bagi para hakim Peradilan Agama. Hal menimbulkan tidak adanya kepastian hukum di lingkungan peradilan ini.

B.     Rumusan Masalah
A.    Bagaimanakah Perundang-undangan Islam di Indonesia?
B.     Bagaimanakah Kompetensi Absolut dan Relatifnya?
C.     Bagaimanakah Hukum Acara PA, PTA, dan MA?

C.     Tujuan
A.    Supaya Dapat Memahami Bagaimanakah Perundang-undangan Islam di Indonesia?
B.     Supaya Dapat Memahami Bagaimanakah Kompetensi Absolut dan Relatifnya?
C.     Supaya Dapat Bagaimanakah Hukum Acara PA, PTA, dan MA?








BAB II
PEMBAHASAN

A.    Perundang-undangan Islam di Indonesia
     Sejak Negara ini berdiri, Indonesia telah menghasilkan berbagai peraturan perundang-undangan yang berujung kepada hukum atau syariat Islam bagi warga masyarakat beragama Islam. Misalnya adalah UU No. 1/1974 yang mengatur sahnya perkawinan berdasarkan hukum agama, dan bagi ummat Islam hukum agama adalah hukum Islam.  Berdasarkan UU ini, maka perkawinan penduduk hanya sah bila dilakukan menurut keyakinan agamanya dan setelah itu dicatatkan pada negara. Bagi warga beragama Islam, pencatatan tersebut di Kantor Urusan Agama, dan bagi warga non-muslim di catatkan di Kantor Catatan Sipil. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama mengatur tentang salah satu pengadilan negara di Indonesia berdasarkan hukum Islam.[1]
    Pengadilan Agama merupakan  salah satu dari empat jenis Pengadilan di Indonesia yang semuanya bermuara ke Mahkamah Agung. Peradilan Agama adalah peradilan untuk orang yang beragama Islam  mengenai masalah tertentu . Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang (a) perkawinan; (b) kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; (c) wakaf dan shadaqah (Pasal 49).
    Dalam UU No. 3/2006 yang merupakan revisi UU No. 7/1986, kewenangan PA menjadi tujuh bidang, yaitu (1) perkawinan, (2) Kewarisan, (3) wakaf, (4) hibah, (5) shadaqah, (6) zakat, dan (7) ekonomi syariah . Pasal 10 ayat (2) UU No. 4 Tabun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa "Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam Lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara."
     Setelah Piagam Jakarta, istilah syariat masuk pertama kali ke dalam khazanah hukum Indonesia melalui UU No. 10 Tahun 1998 UU yang merevisi UU No. 7 Tahun 1982 tentang Perbankan di mana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (12) tentang pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah. Dalam pasal ini diterangkan dengan jelas bahwa yang dimaksud prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam. Jadi istilah syariah di sini disamakan dengan hukum Islam.
     Jauh sebelum ini, yaitu tanggal l0 Juni 1991, telah terbit Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI) berdasarkan Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991. KHI terdiri dari tiga buku tentang Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, dan Hukum Perwakafan. Khusus menssgenai Buku III telah disempurnakan menjadi UU No. UU No. 41/2004 tentang Wakaf. Buku I dan Buku II KHI juga sedang mengalami revisi dan telah menjadi RUU dengan nama RUU Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan, dan RUU Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Kewarisan, dan cepat atau lambat kedua RUU ini tentu juga akan menjadi UU. Hukum Islam dalam KHI ini tidak lain adalah kompilasi syariat Islam dalam bidang perkawinan, kewarisan dan kewakafan. Sejak diterbitkan, KHI telah digunakan sebagai hukum materiil di Peradilan Agama (PA) yang merupakan Peradilan Syariat Islam di Indonesia.
     Istilah syariat juga muncul dalam Pasal 25 ayat (1), (2) dan (3) UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Naggroe Aceh Darussalam. Pasal ini mengatur tentang Peradilan Syariat Islam dengan nama Mahkamah Syariyah dengan kewenangan berdasarkan syariat Islam dalam sistem hukum nasional yang diatur secara khusus dengan Qanun Aceh sebagai Perda (Peraturan Daerah) khusus otonomi Aceh.
           Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa salah satu kewenangan Peradilan Agama adalah memutus sengketa dalam bidang ekonomi syariah. Hukum ekonomi syariah yang dimaksud meliputi sebelas jenis, yaitu a. bank syariah; b. lembaga keuangan makro syariah; c. asuransi syariah; d. reasuransi syariah; e. reksadana syariah; f. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; g. sekuritas syariah; h. pembiayaan syariah; i. pegadaian syariah; j. dana pensiun lembaga keuangan syariah; dan k. bisnis syariah. Dengan kesebelas jenis hukum ekonomi syariah ini berarti hampir seluruh cakupan fiqh mu'amalat dalam syariat Islam telah menjadi hukum positif di Indonesia.
      Kemunculan ekonomi syariah melayani kecenderungan hukum Islam yang berlaku sejak awal kemerdekaan Indonesia. Selama ini, keberlakuan hukum Islam hanya menyangkut warga yang beragama Islam. Khusus mengenai ekonomi syariah, begitu juga sengketa mengenai ekonomi syariah, tidak hanya menyangkut warga negara yang beragama Islam, tetapi mencakup semua warga negara tanpa melihat perbedaan agama.[2]
      Dengan melibatkan diri dalam kegiatan ekonomi syariah, maka baik muslim maupun non-muslim, telah menundukkan dirinya kepada ketentuan hukum ekonomi syariah. Transaksi ekonomi syariah pada umumnya berdasarkan akad atau perjanjian di antara para pihak, dan dalam hal terjadi sengketa, maka akad atau perjanjian itulah yang menjadi konstitusi bagi para pihak. Dalam hal ini, kemungkinan sengketa tidak hanya terjadi antara sesama muslim, tetapi juga antara muslim dan non muslim, bahkan antara sesama non muslim, bila mereka adalah pihak-pihak yang terlibat dalam akad atau perjanjian syariah.

B.     Kompetensi PTUN Absolut dan Relatif
       Peradilan Tata Usaha Negara sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman,merupakan lingkungan peradilan yang berdiri sendiri, terpisah dari Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Agama, sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-UndangNomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
     Menurut Thorbecke berkaitan dengan masalah kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara, bilamana pokok sengketa (fundamentum petendi) terletak dilapangan hukum publik yang berwenang memutuskannya adalah Hakim Administrasi. Sedangkan menurut Buys ukuran yang digunakan untuk menentukan kewenangan mengadili Hakim Administrasi Negara ialah pokokdalam perselisihan (objectum litis). Bilamana yang bersangkutan dirugikan dalam hak privatnya dan oleh karena itu meminta ganti kerugian, jadi objectum litis-nya adalah hak privat, maka perkarayang bersangkutan harus diselesaikan oleh hakim biasa (Riawan Tjandra, 1995: 27).
     KompetensiPeradilan Tata Usaha Negara menurut UU PTUN jauh lebih sempit dari pada pembatasan yang dibuat oleh Thorbecke dan Buys. Tidak semua perkara yang pokok sengketanya terletak dalam lapangan hukum publik (Hukum Administrasi Negara) termasuk dalam kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara. Secara teoritis, realisasi Perbuatan Tata Usaha Negara (perbuatan administrasi negara) dapat digolongkan dalam  tiga hal, yaitu : mengeluarkan keputusan (beschikking), mengeluarkan peraturan (regeling) dan melakukan perbuatan materiil (materiele daad). Adanya suatu sengketa dalam bidang administrasi negara (secara umum) tentu saja akan muncul akibat dari pelaksanaan tugas dan kewenangan Pejabat Administrasi Negara (Pejabat TUN) yang terdiri dari tiga hal tersebut diatas. Artinya tanpa adanya perbuatan administrasi (termasuk didalamnya tindakan pasif), tentu saja tidak akan mungkin terjadi sengketa administrasi. Dari ketiga perbuatan administrasi Negara tersebut manakala dianggap merugikan rakyat pencari keadilan, maka penyelesaian sengketa di pengadilannya masuk dalam beberapa kompetensi peradilan. Sengketa/perkara akibat dikeluarkannya regeling (Peraturan Perundang- undangan) diselesaikan di Mahkamah Konstitusi untuk Undang-Undang dan Mahkamah Agung untuk Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang. Sengketa yang timbul akibat perbuatan materiil diselesaikan di Pengadilan Negeri dalam perkara perdata. Sedangkan sengketa timbul akibat dikeluarkannya keputusan (beschikking) diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara. Dengan catatan tidak semua keputusan yang dibuat oleh Pejabat TUN dapat diselesaikan di PTUN. Artinya ada pembatasan-pembatasan tertentu yang dibuat oleh UU PTUN. Secara singkat pembatasan tersebut dapat dirumuskan: “KTUN = (Pasal 1 angka 3 + Pasal 3)-(Pasal 2+Pasal 49)´. Uraian selengkapnya mengenai apa saja Keputusan yang dapat digugat di PTUN dibahas dalam Bab Subyek dan Obyek Sengketa TUN. Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara adalah mengadili Sengketa Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum privat dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (Pasal 4 UU PTUN).[3]
     Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara  antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1angka 5 UU PTUN).
      Dalam pada itu kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu : kompetensi absolute dan kompetensi relative.
1.       Kompetensi absolut pengadilan adalah kewenangan badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu dan secara mutlak tidak dapat diperiksa badan pengadilan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai contoh adalah Kompetensi absolut Pengadilan Pajak. Pengadilan Pajak merupakan badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. Meskipun Pengadilan Pajak masuk dalam lingkungan Peradilan TUN, akan tetapi kompetensi absolutnya berbeda dengan kompetensi Pengadilan TUN. Kompetensi absolut Peradilan TUN berbeda dengan lingkungan peradilan lainnya, misalnya dengan Peradilan Umum yang memiliki kompetensi untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata dan pidana.
Dalam pada itu, kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara atau Sengketa Tata Usaha Negara. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 UU PTUN, yaitu: ”Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap Sengketa Tata Usaha Negara”. Sebagaimana dikemukakan diatas, bahwa Sengketa TUN memiliki ruang lingkup yang lebih sempit dan lebih khusus bila dibandingkan dengan sengketa yang timbul dalam lapangan hukum publik, karena Sengketa TUN itu sendiri hanya dapat timbul manakala terdapat Keputusan Tata Usaha Negara.  Sementara itu, masih pula terdapat pembatasan-pembatasan tertentu yang dibuat oleh UU PTUN mengenai KTUN manakah yang dapat digugat di PTUN. Secara singkat pembatasan tersebut dapat dirumuskan: “KTUN = (Pasal 1 angka 3+Pasal 3 -(Pasal 2+Pasal 49).
2.      Kompetensi Relatif
Kompetensi relative pengadilan adalah kewenangan mengadili antar pengadilan dalam satu lingkungan peradilan. Kewenangan tersebut terletak pada pengadilan manakah yang berwenang memeriksa, memutus dan meneyelesaikan perkara tertentu. Kompetensi relatif PTUN diatur dalam Pasal 54 ayat (1) sampai ayat (6). Pada dasarnya gugatan didaftarkan pada tempat kediaman Tergugat (actor sequitur forum rei) dengan pengecualian-pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 54, sebagai berikut:[4]
(1) Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
(2) Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan, gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
(3) Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukummnya meliputi tempat kediaman penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.
(4) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.
(5) Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.
(6) Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan tergugat.

C.     Hukum Acara PA, PTA dan MA
1.Hukum acar PA (Pengadilan Agama)
            Pengadilan Agama merupakan kerangka sistim dan tata hukum Nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 14/1970 diperlukan adanya perombakan yang bersifat mendasar terhadap segala perundang-undangan yang mengatur Badan Peradilan Agama tersebut.
Berlakunya UU No. 7/1989, secara konstitusional Pengadilan Agama merupakan salah satu Badan Peradilan yang disebut dalam pasal 24 UUD 1945. Kedudukan dan kewenangannya adalah sebagai Peradilan Negara dan sama derajatnya dengan Peradilan lainnya, mengenai fungsi Peradilan Agama dibina dan diawasi oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, sedangkan menurut pasal 11 (1) UU No. 14/1970 mengenai Organisasi, Administrasi dan Finansiil dibawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan. Suasana dan peran Pengadilan Agama pada masa ini tidaklah berbeda dengan masa kemerdekaan atau sebelumnya karena Yurisdiknya tetap kabur baik dibidang perkawinan maupun dibidang waris. Hukum Acara yang berlaku tidaklah menentu masih beraneka ragam dalam bentuk peraturan perundang-undangan bahkan juga hukum acara dalam hukum tidak tertulis yaitu hukum formal Islam yang belum diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.[5]
Pada tahun 1989 lahirlah UU No.7 tahun 1989 yang diberlakukannya tanggal 29 Desember 1989, kelahiran undang-undang tersebut tidaklah mudah sebagaimana yang diharapkan akan tetapi penuh perjuangan dan tantangan dengan lahirnya UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah sebagi tonggak monumen sejarah Pengadilan Agama terhitung tanggal 29 Desember 1989 tersebut. Lahirnya UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah mempertegas kedudukan dan kekuasaan Peradilan Agama sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 UU No.14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman juga memurnikan fungsi dan susunan organisasinya agar dapat mencapai tingkat sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang sebenarnya tidaklah lumpuh dan semu sebagaimana masa sebelumnya. Disamping itu lahirnya UU tersebut menciptakan kesatuan hukum Peradilan Agama dan tidak lagi berbeda-beda kewenangan dimasing-masing daerah di lingkungan Peradilan Agama. Peradilan Agama baik di Jawa-Madura maupun diluar Jawa-Madura adalah sama kedudukan dan kewenangan baik hukum formil maupun materiilnya. Dengan demikian Peradilan Agama telah sama kedudukannya dengan Peradilan lainnya sebagaimana dalam pasal 10 (1) UU No.14 tahun 1970.[6]     

2.      Hukum Acara PTA (Pengadilan Tinggi Agama)
Pengadilan Tinggi Agama merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota Provinsi. Sebagai Pengadilan Tingkat Banding, Pengadilan Tinggi Agama memiliki tugas dan wewenang untuk mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding.
Selain itu, Pengadilan Tinggi Agama juga bertugas dan berwenang untuk mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Agama di daerah hukumnya.
Pengadilan Tinggi Agama dibentuk melalui Undang-Undang dengan daerah hukum meliputi wilayah Provinsi. Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari Pimpinan (Ketua dan Wakil Ketua), Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris.
Dasar Hukum :
1.      Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;2,
2.      Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
3.      Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

3. Hukum acara MA (Mahkama Agung)
Mahkamah Agung (disingkat MA) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi dan bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya. Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara.
Tugas dan Fungsi Mahkama Agung adalah :
1.      Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar.
2.      Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir

-          semua sengketa tentang kewenangan mengadili.
-          permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 28, 29,30,33 dan 34 Undang-undang Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985)
-          semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan Pasal 78 Undang-undang Mahkamah Agung No 14 Tahun 1985).
3.      Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil, yaitu wewenang menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan dibawah Undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih tinggi (Pasal 31 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
Dan masih banyak tugas dan fungsinya yg lain.


























BAB III
PENUTUP

Simpulan
           
            Peradilan agama bercita-cita untuk dapat memberikan pengayoman dan pelayanan hukum kepada masyarakat. Agar pengayoman hukum dan pelayanan hukum tersebut dapat terselenggara dengan baik, diperlukan perangkat sebagai berikut: Kelembagaan Peradilan Agama yang mandiri sebagaimana lingkungan peradilan yang lain yang secara nyata didukung dengan sarana dan prasarana serta tatalaksana yang memadai dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti yang telah kita jelaskan sebelumnya. Materi Hukum Hukum Islam sebagai hukum materiil peradilan agama yang dituangkan dalam ketentuan perundang-undangan yang jelas. Demikian pula dengan hukum formil peradilan agama perlu dikembangkan. Personil dalam melaksanakan tugas kedinasan ia sebagai aparat penegak hukum yang profesional, netral (tidak memihak) dan sebagai anggota masvarakat ia orang yang menguasai masalah keislaman, yang menjadi panutan dan pemersatu masyarakat sekelilingnya serta punya integritas sebagai seorang muslim.
                               



[1] . Agama, Departemen RI, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[2] . Prof. Dr. Rifyal Ka`bah, MA, Hakim Agung

[3] . http://civillaw77.blogspot.com
[4] . http://civillaw77.blogspot.com
[5] . http://makalahhukumperadilanagamapaimin.blogspot.com
[6] . Abdul Halim, Peradilam Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar