Jumat, 08 Maret 2013

LPJ Civic Education


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
     Dalam proses kegiatan perkuliahan dibutuhkan keaktifan dalam suatu pembelajaran yang menunjang kecerdasan mahasiswa, untuk keperluan itu dosen pembimbing mata kuliah Civic Education yaitu Drs. H. M. Izzat Abidy, M. Ag mengadakan kegiatan simulasi dengan judul diantaranya “Hubungan Civic dan Citizenship, Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, Sistem Pemerintahan Presidensil dan Parlementer, HAM dan Konstitusi UUDuntuk pembelajaran mahasiswa semester 1 jurusan muamalah, diharapkan kegiatan tersebut menjadi wadah baru bagi mahasiswa untuk mengembangkan intelektualnya dalam mengeluarkan pendapat-pendapat mereka yang bersumber dari referensi-referensi yang telah mereka baca.

Tema Kegiatan
     Simulasi  dan studi kasus ini dilaksanakan dengan tema “Hubungan Civic dan Citizenship dengan pembahasan masalah Naturalisasi Cristian Gonzales”. Tema inilah yang diangkat oleh mahasiswa jurusan muamalah dari kelompok 1, yang menjadi bahan dasar  pembelajaran tentang arti dan dasar hukum  dari “Civic dan Citizenship”.
     Tujuan dari pada kegiatan simulasi dan studi kasus ini adalah untuk mengasah dan meningkatkan kecerdasan, keaktifan serta kreatifitas para mahasiswa terutama di kelas. Selain itu juga menambah wawasan dan ilmu penegtahuan baru bagi mereka, sehingga mereka dapat memahami isi yang termasuk dalam silabi mata kuliah Civic Education.

Sasaran kegiatan
     Sasaran kegiatan Simulasi dan studi kasus ini adalah semua mahasiswa semester 1  jurusan muamalah (B) dan juga dosen pembimbing mata kuliah Civic Education.





Waktu dan tempat
Kegiatan simulasi dan studi kasus ini dilaksanakan pada :
Hari / Tanggal      : Senin, 29 November 2010
Waktu / Pukul      : 12.40-14.20 WIB
Tempat                 : Ruang 10 gedung B fakultas syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya

Berita Acara
Susunan pelaksanaan acara kegiatan Simulasi ini adalah sebagai berikut:
1.    Pukul (13.20-13.40) : Pembukaan kegiatan simulasi yang disampaikan oleh moderator dan awal pembahasan materi oleh Anik Mulyana.
2.    Puku (13.40-14.10) : Pembahasan materi sekaligus bedah kasus oleh semua anggota kelompok 1 sebagai pemakalah atau narasumber.
3.    pukul (14.10-14.20) : Perolehan hasil kesimpulan materi simulasi dan sekaligus  penutupan kegiatan simulasi oleh M. Kanzul Fikri Aminuddin.
















BAB II
HASIL SIMULASI

1.    Hubungan Civic dan Citizenship
     Civic merupakan suatu lembaga  atau bisa disebut organisasi yang terdiri dari beberapa anggota dengan syarat-syarat tertentu yang mempunyai kewajiban untuk melindungi, mengayomi dan mensejahterakan para anggotanya. Biasanya berbentuk suatu pemerintahan. Sedangkan Citizenship merupakan warga suatu negara yang mempunyai syarat sebagai anggota negara yang mempunyai Hak dan Kewajiban terhadap suatu pemerintahan Negaranya. Untuk lebih jelasnya lebih lanjut mengenai hubungan Civic dan Citizenship.
      
A.  Rakyat Negara
Rakyat sesuatu negara meliputi semua orang yang bertempat tinggal di dalam wilayah kekuasaan negara dan tunduk pada kekuasaan negara itu. Adapun orang yang berada diwilayah sesuatu negara dapat dibagi atas penduduk dan bukan penduduk.
Penduduk dapat dibagi atas:
1.    penduduk warga negara, dengan singkat disebut warga negara.
2.    penduduk bukan warga negara yang disebut orang asing.
Tiap negara biasanya menentukan dalam undang-undang kewarganegaaan siapa yang menjadi warganegara dan siapa yang dianggap orang asing. Di Indonesia kewarganegaraan itu diatur dalam UU No. 62 tahun 1958.
Dalam UUD 1945 pasal 26 dinyatakan:
1.    Yang menjadi warganegara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang bangsa lain yang disahkan UU sebagai waganegara.
2.    Syarat-syarat mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan UU.
B.   Asas Kewarganegaraan
Asas keturunan atau ius sanguinis adalah menetapkan kewarganegaraan seorang menurut pertalian atau keturunan dari orang yang bersangkutan, sedangkan asas iusoli adalah menetapkan kewarganegaraan seseorang menurut daerah atau negara tempat ia dilahirkan.
Dalam menentukan kewarganegaraan dipergunakan dua stelsel kewarganegaraan. Yaitu stelsel aktif, yaitu orang harus melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu secara aktif untuk menjadi warga negara, dan stelsel pasif yaitu orang dengan sendirinya dianggap menjadi warganegara tanpa melakukan suatu tindakan hukum tertentu. Karena dua hal tersebut maka berhubungan dengan hak opsi, yaitu suatu hak untuk memilih suatu kewarganegaraan, dan hak repudiasi, yaitu hak untuk menolak suatu kewarganegaraan.

C.  Dwi Kewarganegaraan
Dalam menentukan kewarganegaraannya beberapa negara memakai asas ius soli, sedang di negara lain berlaku asas ius sanguinis. Hal demikian itu menimbulkan dua kemungkinan, yaitu :
1.    Apatride, yaitu adanya seorang penduduk yang sama sekali tidak mempunyai kewarganegaraan.
2.    Bipatride, yaitu adanya seorang penduduk yang mempunyai dua macam kewarganegaraan sekaligus (Dwi kewarganegaraan).
D.  Perkawinan campuran
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang-orang yang pada umumnya tidak tunduk kepada hukum yang sama.
Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 : “yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.
Selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam perkawinan campuran antara warga negara indonesia dengan warga negara asing, mengacu pada UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958. Seiring berjalannya waktu UU ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk istri dan anak.
Untuk perempuan WNI yang menikah dengan pria asing berkenaan dengan perkawinan campuran internasional. Perempuan WNI yang menikah ini dapat kehilangan kewarganegaraan RI-nya. Untuk itu haruslah diberikan suatu pernyataan keterangan yang khusus, tapi pernyataan keterangan tersebut tidak boleh dilakukan oleh semua perempuan WNI yang menikah dengan pria asing. Karena yang akan memperoleh kewarganegaraan sang suami asing sajalah yang dapat memberikan pernyataan keterangan melepaskan kewarganegaraan RI itu.
E.   Naturalisasi
Peraturan naturalisasi disebabkan adanya surat edaran menteri kehakiman No. JB/DTA/11/12 tanggal 2 Januari 1978.
Persyaratan Naturalisasi diatur menurut UU No. 3 tahun 1946 pasal 5 dan pasal 6. Sedangkan cara pewarganegaraan (naturalisai) yaitu diatur oleh UU No. 62 Tahun 1958. Kemudian diamandemen oleh Undang-undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2006, Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2007 dan PERMENKUMHAM No. M.01-HL.03.01 Tahun 2006. Dalam pasal 10 UU No. 12 tahun 2006 dinyatakan :
1.  Permohonan pewarganegaraan diajukan di Indonesia oleh pemohon                                          secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup kepada Presiden melalui Menteri.
2.  Berkas permohonan pewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Pejabat.
Yang jelasnya adalah sebagia berikut : Bahwa mereka orang-orang asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 dapat mengajukan permohonan pewarganegaraan kepada Presiden melalui Menteri jika memenuhi persyaratan :
1.    Telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.
2.    Pada   waktu   mengajukan   permohonan   sudah    bertempat    tinggal   di wilayah  Negara Republik Indonesia  paling  singkat 5 (lima)  tahun  berturut-turut  atau  paling  singkat  10 (sepuluh)  tahun tidak berturut-turut.
3.    Sehat jasmani dan rohani.
4.    Dapat  berbahasa  Indonesia  serta  mengakui  Dasar  Negara  Pancasila  dan  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5.    Tidak   pernah  dijatuhi   pidana  karena   melakukan  tindak   pidana  yang   diancam  dengan   pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih.
6.    Jika  dengan  memperoleh  Kewarganegaraan  Republik  Indonesia,  tidak  menjadi   kewarganegaraan ganda.
7.    Mempunyai pekerjaan tetap, dan
8.    Membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.
Permohonan diajukan di Indonesia oleh pemohon secara tertulis dalam bahasa Indonesia diatas kertas bermeterai cukup dan sekurang-kurangnya memuat.
1.    Nama lengkap.
2.    Tempat dan tanggal lahir.
3.    Jenis kelamin.
4.    Status perkawinan.
5.    Alamat tempat tinggal.
6.    Pekerjaan, dan
7.    Kewarganegaraan asal.
Permohonan harus dilengkapi dengan :
1.  Foto copy  kutipan akte kelahiran atau surat yang membuktikan kelahiran pemohon yang disahkan oleh pejabat (yang dimaksud dengan disahkan oleh pejabat adalah pejabat mencocokkan foto copy kutipan akte atau surat-surat keterangan dengan aslinya).
2.  Foto copy  akte  perkawinan/buku  nikah,  kutipan akte perceraian/surat talak/perceraian, atau kutipan akte  kematian  istri/suami  pemohon  bagi  yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun yang disahkan oleh Pejabat.
3.  Surat  keterangan  keimigrasian  yang  dikeluarkan  oleh  kantor imigrasi yang wilayah kerjanya meliputi tempat  tinggal  pemohon yang menyatakan bahwa pemohon telah bertempat tinggal di wilayah Negara Republik  Indonesia  paling  singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) Tahun tidak berturut-turut..
4.  Foto copy kartu izin tinggal tetap yang disahkan oleh pejabat.
5.  Surat keterangan sehat jasmani dan rohani dari rumah sakit.
6.  Surat pernyataan pemohon dapat berbahasa Indonesia.
7.  Surat pernyataan pemohon mengakui Dasar Negara Pancasila dan UUD tahun 1945.
8.  Surat keterangan catatan kepolisian yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal pemohon.
9.  Surat keterangan  dari  perwakilan  negara pemohon bahwa dengan memperoleh kewarganegaraan RI tidak menjadi berkewarganegaraan ganda.
10.Surat keterangan dari camat yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal pemohon bahwa pemohon memiliki pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap.
11.Bukti pembayaran uang Pewarganegaraan dan biaya permohonan ke Kas Negara, dan
12.Pasfoto pemohon terbaru berwarna ukuran 4 x 6 sentimeter sebanyak 6 (enam) lembar.
13.Permohonan  beserta lampirannya disampaikan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal pemohon.
Dalam hal permohonan tidak memenuhi persyaratan substantif, pejabat mengembalikannya kepada pemohon dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal pemeriksanaan substantif selesai dilakukan, dan dalam hal dinyatakan memenuhi persyaratan substantif pejabat meneruskan permohonan kepada menteri dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal pemeriksaan substantif selesai. Menteri melakukan pemeriksaan substantif dan meneruskan permohonan disertai dengan pertimbangan kepada Presiden dalam waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima dari pejabat. Presiden mengabulkan atau menolak permohonan dalam waktu paling lambat 45 (empat puluh lima) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima dari menteri.
     Dalam hal permohonan dikabulkan Presiden, Presiden menetapkan Keputusan Presiden dan memberitahukan secara tertulis kepada pemohon dengan tembusan kepada pejabat dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal Keputusan Presiden ditetapkan, sedangkan dalam hal permohonan ditolak Presiden, Presiden memberitahukan kepada Menteri. Penolakan disertai dengan alasan diberitahukan secara tertulis oleh Menteri kepada pemohon dengan tembusan kepada pejabat dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal permohonan diterima oleh menteri.
     Pemohon yang dikabulkan permohonannya mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pemberitahuan petikan Keputusan Presiden dikirim kepada pemohon yang diatur dalam PERMENKUMHAM No. M.02-HL.05.06 Tahun 2006.
Sedangkan hilangnya Kewarganegaraan Indonesia diatur oleh Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2007 dalam pasal 31 diantaranya :
1.    Warga Negara Indonesia dengan sendirinya kehilangan kewarganegaraannya karena :
a.    Memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri.
b.    Tidak menolak atau melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu.
c.    Masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden.
d.   Secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh warga negara Indonesia.
e.    Secara sukarela mengatakan sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut.
f.     Tidak diwajibkan tapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing.
g.    Mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya.
h.    Bertempat tinggal diluar wilayah negara republik Indonesia selama 5 (lima tahun berturut-turut) bukan dalam rangaka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi Warga Negara Indonesia sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun itu berakhir dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi warga Negara Indonesia kepada perwakilan RI yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal perwakilan RI tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.
2.    Warga Negara Indonesia dinyatakan hilang kewarganegaraan oleh Presiden atas permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan dinyatakan hilang kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.



Kewarganegaraan Cristian Gonzales

Cristian Gonzales atau biasa disebut El Loco, adalah seorang pemain sepak bola yang merumput di Indonesia yang mempunyai kewarganegaraan Uruguay. Dia menikah dengan Eva Siregar pada tahun 1995 yang notabene mempunyai kewarganegaraan Indonesia, oleh sebab itu mempengaruhi status kewarganegaraan istrinya. Status kewarganegaraan secara yuridis diatur oleh peraturan perundang-undangan nasional. Tetapi dengan tidak adanya uniformiteit dalam menentukan persyaratan untuk diakui sebagai warga negara dari berbagai akibat dari perbedaan dasar yang dipakai dalam kewarganegaraan maka timbul berbagai macam permasalahan kewarganegaraan. (Titik Triwulan Tutik, Op.cit, Halaman 234).
Dalam UU No. 3 Tahun 1946 Eva seharusnya mengikuti kewarganegaraan suaminya yang notabene mempunyai kewarganegaraan Uruguay. Namun, negara Indonesia mempunyai UU No. 49 tahun 1999 hasil amandemen yang melindunginya, sehingga Eva tidak mengikuti kewarganegaraan suaminya. Dengan syarat wajib lapor tiap 1 tahun sekali atau maksimal 2 tahun sekali, agar kewarganegaraannya tidak hilang.
Sedang posisi kewarganegaraan Cristian Gonzales yang pada awalnya berkewarganegaraan Uruguay dalam kelanjutannya menginginkan merubah kewarganegaraanya menjadi kewarganegaraan Indonesia, dikarenakan orang-orang asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 dapat mengajukan permohonan pewarganegaraan kepada Presiden melalui Menteri jika memenuhi persyaratan.
Berdasarkan surat edaran menteri kehakiman No. JB/DTA/11/12 tanggal 2 Januari 1978 tentang ketentuan penaturalisasian seseorang warga negara asing yang ingin menjadi warga negara Indonesia.
Adapun persyaratan Naturalisasi diatur menurut UU No. 3 tahun 1946 pasal 5 dan pasal 6. Sedangkan cara pewarganegaraan (naturalisai) yaitu diatur oleh UU No. 62 Tahun 1958. Kemudian diamandemen oleh Undang-undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2006, Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2007 dan PERMENKUMHAM No. M.01-HL.03.01 Tahun 2006.
Sehingga sekarang C.Gonzales mendapatkan kewarganegaraan Indonesia karna telah memenuhi syarat dan cara penaturalisasian yang diatur oleh pemerintah Indonesia.
Dari hasil perkawinannya tersebut, mereka dianugrahi 4 orang anak yang salah satunya perempuan. Sehingga, untuk sementara ini sesuai dengan UU No. 4 Tahun 1969, 4 anak tersebut masih mengikuti kewarganegaraan Orang tuanya dan bagi warga negara Indonesia berdasarkan UU No. 2 Tahun 1958.
Namun dikhawatirkan akan terjadinya apratide atau bipatride berdasarkan UU No. 3 Tahun 1976. Oleh karena Beberapa kali UU di Indonesia mengalami beberapa amandemen, sehingga dalam UU No. 23 Tahun 2002 posisi seorang anak bebas untuk memilih kewarganegaraannya ketika di sudah mencapai usia 18 tahun.
Selanjutnya, mari kita lihat beberapa pasal dalam deklarasi PBB tentang hak asasi manusia yang telah diadopsi juga oleh Indonesia melalui UU No. 39 Tahun 1999 yang niscaya sangat membantu bagi kondisi perkawinan antar bangsa, bila saja pasal tersebut dapat direalisasikan secara nyata.
1.    Pasal 1, setiap orang dilahirkan sebagai manusia bebas dan mempunyai hak dan harga diri yang setara.
2.    Pasal 16, laki-laki dan perempuan dewasa tanpa batasan ras, kewarganegaraan atau agama berhak untuk menikah dan membentuk keluarga. Mereka berhak untuk memperoleh persamaan hak seperti saat menikah, selama pernikahan atau bila perkawinan terputus. Perkawinan bisa terjadi hanya bila dilakukan oleh sepasang manusia yang sadar dan bebas. Keluarga adalah kelompok alamiah dan fundamental di tatanan sosial dan berhak atas perlindungan dari lingkungan sosialnya dan negara.
3.    Pasal 23, setiap orang berhak untuk bekerja, untuk bebas menentukan pekerjaan dstnya. Setiap orang tanpa diskriminasi berhak memperoleh upah yang sama untuk hasil kerja yang sama.

2.  Tanggapan Tentang Simulasi Terhadap Kelompok Lain
A.       Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan
Dari materi yang telah diterangkan oleh kelompok ini tentang, kami dapat menanggapi bahwa
B.        Sistem Pemerintahan Presidensil dan Sistem Pemerintahan Parlementer
Dari materi yang telah diterangkan oleh kelompok ini tentang Sistem Pemerintahan Presidensil Negara Liberia dan Sistem Pemerintahan Parlementer Thailand, kami dapat menanggapinya dengan uraian di bawah ini :
1.      Sistem Pemerintahan Presidensil diatur oleh Presiden dan Sistem Pemerintahan Parlementer  diatur oleh Perdana Menteri, sehingga dalam sistem kedua pemerintahan tersebut mempunyai perbedaan, diantaranya :
a.       Sistem Pemerintahan Presidensil dalam kekuasaannya, terdapat trias Politika yang dibentuk oleh montesque, yakni badan eksekutif, badan legislatif dan badan yudikatif. Sedangkan Dalam Pemerintahan Parlementer kekuasaannya terletak pada parlemen.
b.      Presiden adalah Kepala Pemerintahan Presidensil, sedangkan Perdana Mentri adalah Kepala Pemerintahan Parlementer.
Konstitusi UUD 1945 dan HAM




BAB III
DOKUMENTASI

A. Dokmentasi simulasi pembelajaran civic


 DI isi foto 

  
















BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Civic dan Citizenship terdapat hubungan yang sangat vital, sehingga diantara keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dimana suatu lembaga jika tidak mempunyai anggota, maka lembaga tersebut tidak akan terbentuk. Begitu juga sebaliknya.
UU Kewarganegaraan yang baru ini menuai pujian dan juga kritik, termasuk terkait dengan status anak. Penulis juga menganalogikan sejumlah potensi masalah yang bisa timbul dari kewarganegaraan ganda pada anak. Seiring berkembangnya zaman dan sistem hukum, UU Kewarganegaraan yang baru ini penerapannya semoga dapat terus dikritisi oleh para ahli hukum perdata internasional, terutama untuk mengantisipasi potensi masalah.
Di era globalisasi seperti sekarang ini, jarak fisik bukan lagi menjadi halangan untuk berinteraksi, bahkan hingga melewati batas-batas negara. Hal ini tergambar jelas antara lain dengan semakin meningkatnya kecenderungan perkawinan antar bangsa yang terjadi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Banyak negara yang menyikapi hal ini dengan positif dan mengaplikasikannya ke dalam undang-undang/hukum yang akomodatif terhadap gejala ini, walaupun ada pula yang pasif, namun bisa dibilang hanya sedikit negara yang mengabaikan gejala ini. Bahkan Indonesia dalam UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan telah “mengantisipasi” adanya kemungkinan perkawinan campuran antar bangsa ini.
Beberapa aturan yang telah ditetapkan oleh berbagai negara adalah bertujuan baik, bertujuan untuk menjaga setiap warga negaranya dalam pelindungan dan pemenuhan hak sebagai warga negara.
Diterangkan dalam pasal 8 UU No.62 Tahun 1958, seorang perempuan warga Negara Indonesia yang menikah dengan seorang warga negara asing dapat kehilangan kewarganegaraannya apabila dalam jangka waktu 1 tahun setelah perkawinannya berlangsung menyatakan keterangan untuk itu, kecuali apabila ia dengan kehilangan kewarganegaraannya itu  menjadi tanpa kewarganegaraan (stetless). Ini salah satu saja contoh bias gender. Beberapa masalah lain yang umum dihadapi adalah:
1.    Perempuan WNI yang menikah dengan WNA tidak dapat memberikan kewarganegaraan Indonesia kepada suaminya bahkan juga tidak kepada anak-anak yang dilahirkannya.
2.    Perempuan WNI tidak dapat mensponsori suaminya untuk tinggal di Indonesia. Suami harus memperoleh sponsor dari perusahaan di mana ia dipekerjakan.
3.    Bila anak sudah dianggap dewasa Ibu WNI tidak dapat mensponsori anak-anak tersebut untuk tinggal di Indonesia.
4.    Perempuan WNI dapat mensponsori anak-anaknya yang WNA yang masih di bawah umur dengan kekecualian bahwa Bapak anak-anak tersebut tidak tinggal di Indonesia atau tidak mempunyai ITAS, atau orangtua anak-anak tersebut telah bercerai dan anak-anak ada dalam perwalian Ibu.
5.    Suami WNA yang kehilangan pekerjaannya di Indonesia bila masih ingin hidup dalam satu rumah, maka perempuan WNI dan anak-anaknya harus angkat kaki dari bumi Indonesia dan “pulang” ke negara asal suaminya.
6.    Ibu/istri WNI jika meninggal tidak dapat mewariskan harta berbentuk rumah/tanah yang dimilikinya kepada anak dan suaminya yang berstatus WNA dan keluarga yang baru kehilangan Ibu/istri ini harus rela menjual rumah mereka paling lambat setahun sejak kepergian Ibu/Istri.
7.    Bukan hanya perempuan WNI, perempuan WNA yang menikah dengan laki-laki WNI juga hidup dalam dilema. Alasan mereka tinggal di Indonesia adalah karena mengikuti suami, melahirkan anak-anak dan membesarkan mereka sebagaimana Ibu-Ibu lain. Padahal, kebanyakan dari mereka di negaranya mempunyai karir dan ingin tetap bekerja guna membantu ekonomi keluarga tapi hal “sederhana” itu tidak bisa terlaksana di Indonesia.
Anak adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam UU Kewarganegaraan yang baru, memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya, karena UU baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak hasil perkawinan campuran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar