Jumat, 08 Maret 2013

Al-'Urf


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Konsep bahwa Islam sebagai agama wahyu yang mempunyai doktrin-doktrin ajaran tertentu yang harus diimani, juga tidak melepaskan perhatiannya terhadap kondisi masyarakat tertentu. Kearifan lokal (hukum) Islam tersebut ditunjukkan dengan beberapa ketentuan hukum dalam al-Qur’an yang merupakan pelestarian terhadap tradisi masyarakat pra-Islam.Seiring pertumbuhan jaman yang begitu pesat tidak dapat di hindari bahwa tradisi-tradisi masyarakat Indonesia telah banyak berubah dan terpengaruh oleh kemajuan zaman.untuk mendefinisikan Al-Urf dari sisi ini lebih dulu mengetahui definisi masing-masing dari dua kata yang membentuknya.Kemudian apa yang dimaksud dengan Al-Urf  adalah gabungan dari arti bahasa tersebut.
S. Waqar Ahmed Husaini mengemukakan, Islam sangat memperhatikan tradisi dan konvensi masyarakat untuk dijadikan sumber bagi jurisprudensi hukum Islam dengan penyempurnaan dan batasan-batasan tertentu. Prinsip demikian terus dijalankan oleh Nabi Muhammad saw. Kebijakan-kebijakan beliau yang berkaitan dengan hukum yang tertuang dalam sunnahnya banyak mencerminkan kearifan beliau terhadap tradisi-tradisi para sahabat atau masyarakat.
           
            Sehingga sangatlah penting bagi umat muslim untuk mengetahui serta mengamalkan salah satu metode Ushl Fiqh untuk meng-Istimbath setiap permasalahan dalam kehidupan masyarakat yang tumbuh seiring jaman.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian serta macam-macam Al-Urf ?
2.      Bagaimana Kedudukan Al-Urf dalam hujjah untuk menentukan hokum?
3.      Apa saja syarat-syarat al-Urf  dalam Hujjah untuk menentukan  hokum?




C.    TUJUAN
Mahasiswa mampu untuk mengambil salah satu istinbath hokum dalam pemecahan masalah yang timbul dalam masyarakat pada umumnya.

D.    MANFAAT
              Berdasar pada rumusan masalah diatas diharapkan di dalam menyikapi kemajuan zaman kita sebagai umat muslim Indonesia mampu untuk menjadi solutif dan selektif dalam menyikapi adat istiadat atau budaya masyarakat di Indonesia yang beraneka ragam diantaranya ada suku jawa, batak, Madura dan lain sebagainya. dengan dasar hokum yang jelas dan kuat kita bisa mengambil keputusan dengan bijak dan menjadi mahasiswa yang solutif di dalam kehidupan bermasyarakat.
 BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN Al-Urf  (ADAT ISTIADAT)
Kata Urf secara etimologi berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat”.Al-urf (adat istiadat) yaitu sesuatu yang sudah diyakini mayoritas orang, baik berupa ucapan atau perbuatan yang sudah berulang-ulang sehingga tertanam dalam jiwa dan diterima oleh akal mereka.[1] Secara terminology Abdul-Karim Zaidan, Istilah ‘urf  berarti : 1
“Sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan”[2] Menurut Ulama’ ‘Usuliyyin Urf adalah 2

“Apa yang bisa dimengerti oleh manusia (sekelompok manusia) dan mereka jalankan, baik berupa perbuatan, perkataan, atau meninggalkan”.[3]Al-Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan menjadi tradisinya; baik ucapan, perbuatan atau pantangan-pantangan, dan disebut juga adat, menurut istilah ahli syara’,tidak ada perbedaan antara al-urf dan adat istiadat.[4]
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1.      Adat harus terbentuk dari sebuah perbuatan yang sering dilakukan orang banyak (masyarakat) dengan berbagai latar belakang dan golongan secara terus menerus, dan dengan kebiasaan ini, ia menjadi sebuah tradisi dan diterima oleh akal pikiran mereka. dengan kata lain, kebiasaan tersebut merupakan adat kolektif dan lebih kusus dari hanya sekedar adat biasa karena adat dapat berupa adat individu dan adat kolektif.
2.      Adat berbeda dengan ijma’. Adat kebiasaan lahir dari sebuah kebiasaan yang sering dilakukan oleh orang yang terdiri dari berbagai status social, sedangkan ijma’ harus lahir dari kesepakatan para ulama mujtahid secara khusus dan bukan orang awam. dikarenakan adat istiadat berbeda dengan ijma’ maka legalitas adat terbatas pada orang-orang yang memang sudah terbiasa dengan hal itu, dan tidak menyebar kepada orang lain yang tidak pernah melakukan hal tersebut, baik yang hidup satu zaman dengan mereka atau tidak. adapun ijma’ menjadi hujjah kepada semua orang dengan berbagai golongan yang ada pada zaman itu atau sesudahnya sampai hari ini.
3.      Adat terbagi menjadi dua kategori; ucapan dan perbuatan. Adat berupa ucapan misalnya adalah penggunaan kata walad hanya untuk anak laki-laki, padahal secara bahasa mencakup anak laki-laki dan perempuan dan inilah bahasa yang digunakan al_Quran, “Allah mensyari’atkan bagimu tentang anak-anakmu. Yaitu: Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”(QS. An-Nisa’(4):11). Sedangkan adat berupa perbuatan adalah setiap perbuatan yang sudah biasa dilakukan orang, seperti dalam hal jual beli, mereka cukup dengan cara mu’athah (Take and Give) tanpa ada ucapan, juga kebiasaan orang mendahulukan sebagian mahar dan menunda sisanya sampai waktu yang disepakati.[5]

B.     MACAM-MACAM Al-Urf
Al-Urf  (adat) itu ada dua macam : Adat yang benar dan adat yang rusak. adat yang benar adalah kebiasaan yang dilakukan manusia, tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak meghalalkan yang haram dan tidak membatalkan kewajiban.seperti adat meminta pekerjaan, adat membagi mas kawin menjadi dua; didahulukan dan di akhirkan, adat seorang istri tidak berbulan madu kecuali telah menerima sebagian mas kawin dari suaminya.sedangkan adat yang rusak adalah kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tetapi bertentangan dengan dengan syara’, menghalalkan yang haram, atau membatalkan kewajiban. seperti banyak kebiasaan mungkar pada saat menghadapi kelahiran, ditempat kematian, serta kebiasaan memakan barang riba’ dan akad perjudian.[6]
Menurut Abdul-karim zaidan membedakan Al-Urf menjadi dua macam :
1.      al-Urf al-‘Am (Adat kebiasaan umum), yaitu adat kebiasaan mayoritas dari berbagai negri di satu masa. contoh adat yang berlaku di beberapa negri dalam memakai ungkapan “engkau telah haram aku gauli” kepada istrinya sebagai ungkapan untuk menjatuhkan talak istrinya itu, dan kebiasaan menyewa kamar mandi umum dengan sewa tertentu tanpa menentukan secara pasti berapa lamanya mandi dan berapa kadar air yang digunakan.
2.      al-Urf al-Khas (Adat kebiasaan khusus), yaitu adat istiadat yang berlaku pada masyarakat negri tertentu. misalnya, kebiasaan masyarakat Irak dalam menggunakan kata al-dabbah hanya kepada kuda, dan menganggap catatan jual beli yang berada pada pihak penjual sebagai bukti yang syah dalam masalah utang piutang.[7]




C.    KEDUDUKAN al-Urf  DALAM SUMBER HUKUM
Jumhur fuqaha’ mengatakan bahwa al-Urf merupakan hujjah dan dianggap sebagai salah satu sumber hokum syariat. mereka bersandar pada dalil-dalil sebagai berikut:
1.      Firman Allah SWT:
3
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh .”(QS.Al-A’Raf(7):199).
     Kata al-urfi dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakanmya, oleh para ulama’ Ushul Fiqh dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat.
2.      Didalam hadist Rosulullah SAW.
 4.
Sesuatu yang dianggap oleh orang muslim itu baik maka Allah menganggap perkara itu baik pula”
yang dimaksud hadist tersebut adalah semua perbuatan yang terjadi di masyarakat  tertentu apabila yang menilai adalah seorang mukmin sejati dan dinilai baik suatu perbuatan tersebut maka perbuatan tersebut dianggap baik pula oleh Allah SWT.
3.      Syariat Islam sangat memperhatikan aspek kebiaaan orang arab dalam menetapkan hokum. semua ditetapkan demi mewujudkan kemaslahatan bagi khalayak ramai, seperti akad salam dan mewajibkan denda kepada pembunuh yang tidak disengaja. selain itu, islam juga telah membatalkan beberapa tradisi buruk yang membahayakan, seperti mengubur anak perempuan dan menjauhkan kaum wanita dari harta warisan. semua ini adalah bukti nyata bahwa syariat islam mengakui keberadaan adat istiadat yang baik.[8]
4.      Syariat Islam memiliki prinsip menghilangkan segala kesusahan dan memudahkan urusan manusia dan mewajibkan orang untuk meninggalkan sesuatu yang sudah menjadi adat kebiasaan mereka karena sama artinya dengan menjerumuskan mereka ke dalam jurang kesulitan. Sebagaimana Firman Allah SWT:
5
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”(QS. Al-Hajj(22):78)
5.      Pada dasarnya, syariat islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah .Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyarakat.tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta adapula yang dihapuskan.


D.    SYARAT-SYARAT al-‘Urf
Sebagian besar ulama yang menggunakan Urf sebagai hujjah, memberikan syarat-syarat tertentu dalam menggunakan al-Urf sebagai sumber hokum, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Tidak bertentangan dengan al-Quran atau As-SUnnah. jika bertentangan, seperti kebiasaan orang minum khamer, riba,berjudi, dan jual beli gharar (ada penipuan) dan yang lainnya maka tidak boleh diterapkan.
2.      Adat kebiasaan tersebut sudah menjadi tradisi dalam muamalat mereka, atau pada sebagian besarnya. jika hanya dilakukan dalam tempo tertentu atau hanya beberapa individu maka hal itu tidak dapat dijadikan sumber hokum
3.      Tidak ada kesepakatan sebelumnya tentang penentangan terhadap adat tersebut. jika adat suatu negri mendahulukan sebagai mahar dan menunda sebagainya, namun kedua calon suami istri sepakat untuk membayarnya secara tunai lalu keduanya berselisih pendapat, maka yang menjadi patokan adalah apa yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak, karena tidak ada arti bagi sebuah adat kebiasaan yang sudah didahului oleh sebuah kesepakatan untuk menentangnya.
4.      Adat istiadat tersebut masih dilakukan oleh orang ketika kejadian itu berlangsung. adat lama yang sudah ditinggalkan orang sebelum permasalahan muncul tidak dapat digunakan, sama seperti adat yang baru lahir setelah permasalahannya muncul.[9]
Abdul-Karim Zaidan Menyebutkan beberapa persyaratan bagi Urf yang bisa dijadikan landasan hokum yaitu:
1.      Urf itu harus termasuk ‘urf yang shahih dalam arti tidak bertentangan dengan ajaran Al-Quran dan As-Sunnah.
2.      Urf itu harus bersifat umum, dalam arti minimal telah menjadi kebiasaan mayoritas penduduk negri itu.
3.      ‘Urf itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan kepada urf itu.
4.      Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan kehendak ‘Urf tersebut, sebab jika kedua belah pihak yang berakad telah sepakat untuk tidak terikat dengan kebiasaan yang berlaku umum, maka yang dipegang adalah ketegasan itu, bukan’Urf.[10]


E.     PANDANGAN ULAMA DALAM al-Urf

 Berikut adalah praktek-praktek ’Urf dalam masing-masing mahzab:
1.Fiqh Hanafy
a.       Dalam akad jual beli. Seperti standar harga, jual beli rumah yang meliputi bangunanya meskipun tidak disebutkan.
b.      Bolehnya jual beli buah yang masih dipohon karena ’urf.
c.       Bolehnya mengolah lahan pertanian orang lain tanpa izin jika di daerah tersebut ada kebiasaan bahwa lehan pertanian digarap oleh orang lain, maka pemiliknya bisa meminta bagian.
d.      Bolehnya mudharib mengelola harta shahibul maal dalam segala hal menjadi kebiasaan para pedagang.
e.       Menyewa rumah meskipun tidak dijelaskan tujuan penggunaaannya

2.Fiqh Maliki
a.       Bolehnya jual beli barang dengan menunjukkan sample
b.      Pembagian nisbah antara mudharib dan sahibul maal berdasarkan ’urf jika terjadi perselisihan

3.Fiqh Syafi’i
a.       Batasan penyimpanan barang yang dianggap pencurian yang wajib potong tangan
b.      Akad sewa atas alat transportasi
c.       Akad sewa atas ternak
d.      Akad istishna

4.Fiqh Hanbali
a.       Jual beli mu’thah
Para ulama sepakat bahwa ‘urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah. Ulama Malikiyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah.

Para ulama telah sepakat bahwa seorang mujtahid dan seorang hakim harus memelihara ’urf shahih yang ada di masyarakat dan menetapkannya sebagai hukum. Para ulama juga menyepakati bahwa ’urf fasid harus dijauhkan dari kaidah-kaidah pengambilan dan penetapan hukum. ’Urf fasid dalam keadaan darurat pada lapangan muamalah tidaklah otomatis membolehkannya. Keadaan darurat tersebut dapat ditoleransi hanya apabila benar-benar darurat dan dalam keadaan sangat dibutuhkan.

Imam Syafi’i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Mekkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan ‘urf. Tentu saja ‘urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah.

Abdul Wahab Khalaf berpandangan bahwa suatu hukum yang bersandar pada ’Urf akan fleksibel terhadap waktu dan tempat, karena Islam memberikan prinsip sebagai berikut:
“Suatu ketetapan hukum (fatwa) dapat berubah disebabkan berubahnya waktu, tempat, dan siatuasi (kondisi)”.

Dengan demikian, memperhatikan waktu dan tempat masyarakat yang akan diberi beban hukum sangat penting. Prinsip yang sama dikemukakan dalam kaidah sebagai berikut:
“Tidak dapat diingkari adanya perubahan karena berubahnya waktu (zaman)”.

Dari prinsip ini, seseorang dapat menetapkan hukum atau melakukan perubahan sesuai dengan perubahan waktu (zaman). Ibnu Qayyim mengemukakan bahwa suatu ketentuan hukum yang ditetapkan oleh seorang mujtahid mungkin saja mengalami perubahan karena perubahan waktu, tempat keadaan, dan adat.

Jumhur ulama tidak membolehkan ’Urf Khosh. Sedangkan sebagian ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah membolehkannya, dan inilah pendapat yang shohih karena kalau dalam sebuah negeri terdapat ‘urf tertentu maka akad dan mu’amalah yang terjadi padanya akan mengikuti ‘urf tersebut.[11]

CONTOH PRAKTEK ‘URF

Berikut adalah akad-akad saat ini yang dapat diterima dengan ’Urf, yaitu
1.      Konsep Aqilah dalam asuransi
2.      Jual beli barang elektronik dengan akad garansi
3.      Dalam sewa menyewa rumah. Biaya kerusakan yang kecil-kecil yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemilik rumah, menjadi tanggung jawab penyewa.





BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Karakteristik hukum Islam adalah Kulli (universal) dan waqiyah (kontekstual) karena dalam sejarah perkembangan (penetapan)nya sangat memperhatikan tradisi, kondisi (sosiokultural), dan tempat masyarakat sebagai objek (khitab), dan sekaligus subjek (pelaku, pelaksana) hukum. Perjalanan selanjutnya, para Imam Mujtahid dalam menerapkan atau menetapkan suatu ketentuan hukum (fiqh) juga tidak mengesampingkan perhatiannya terhadap tradisi, kondisi, dan kultural setempat.

Tradisi, kondisi (kultur sosial), dan tempat merupakan faktor-faktor yang tidak dapat dipisahkan dari manusia (masyarakat). Oleh karenanya, perhatian dan respon terhadap tiga unsur tersebut merupakan keniscayaan.

Tujuan utama syari’at Islam (termasuk didalamnya aspek hukum) untuk kemaslahatan manusia – sebagaimana di kemukakan as-Syatibi– akan teralisir dengan konsep tersebut. Pada gilirannya syari’at (hukum) Islam dapat akrab, membumi, dan diterima di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang plural, tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip dasarnya.

Sehingga dengan metode al-’urf ini, sangat diharapkan berbagai macam problematika kehidupan dapat dipecahkan dengan metode ushl fiqh salah satunya al-’urf, yang mana ’urf dapat memberikan penjelasan lebih rinci tanpa melanggar al-Quran dan as-Sunnah.

B.     KRITIK DAN SARAN
Didalam kehidupan nyata setiap manusia tak luput dari dosa dan yang pasti tidak ada manusia yang sempurna dimuka bumi ini keculai Nabi Muhammad SAW. Seyogyanya kita sebagai manusia biasa harus selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik dan ibtida’ kepada sunah Rosul.
Kami berharap kritik dan saran untuk kelompok kami yang bersifat konstruktif demi kemajuan dimasa yang akan datang.



DAFTAR PUSTAKA

Khalaf, Abdul Wahab. Ilm Ushul Fiqh. Damaskus: Dar el-Qalam, 1398 H/1978 M, cet. XII
Bisri, M. Adib. 1977. Risalah Qawa’id Fiqh. Kudus: Menara Kudus
Effendi, Satria. Prof. Dr.,M.Zein.MA.,2005 Ushul Fiqh, Jakarta:Kencana, Ed.I. Cet.I
Khalil, Rasyad Hasan.Dr.,2009, Tarikh Tasyri’,Jakarta: Amzah, cet pertama.
Anhari, Masykur, Dr.2008,Ushul Fiqh,Surabaya: Penerbit Diantama, cet I.



[1] Rasyad Hasan Khalil, TARIKH TASRYI’,(Jakarta, 2009), h. 167
[2] Satria Efendi, M.Zein, Ushul Fiqh,(Jakarta, 2005), h.153
[3] Masykur Anhari, Ushul Fiqh,(Surabaya, 2008), h.110
[4] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh dalam Kaidah Hukum Islam,(Jakarta, 2003), h.117
[5] Ibid, Tarikh Tasry’, H. 168
[6] Ibid, Ilmu Ushul Fiqih dalam kaidah hokum islam. h. 117-118
[7] Ibid, Ushul Fiqh, h. 154
[8] Ibid¸Tarikh Tasyri’. h 169
[9] Ibid, Tarikh Tasyri’.h.170
[10] Ibid,Satria effendi, M.Zein, Ushul Fiqh.h 156-157
[11] M.Adib Bisri, Risalah Qawaid Fiqh,(Kudus, 1997)h.

1 komentar:

  1. Assalamualaikum....
    mintak izin untuk ambil maklumat dan menggunakannya dalam tugasan saya...t.kasih
    semoga dimudahkan segala urusan anda... :)
    JazakAllahu Khairan

    BalasHapus