Kel
9
Tata Cara Beracara Dan Alat Bukti
A.
Pengakuan
Mengenai
pengakuan pelaku hal ini didasarkan pada dasar Alquran yaitu Surat Albaqarah :
225
لا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي
أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ وَاللَّهُ
غَفُورٌ حَلِيمٌ
“ Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu)
yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyantun.”(
QS 2: 225)
Yang dimaksud pengakuan yaitu mengakui adanya
hak orang lain yang ada pada diri pengaku itu sendiri dengan ucapan atau yang
berstatus sebagai ucapan ,meskipun untuk masa yang akan datang[1]
.
Jika seseorang telah mengaku telah melakukan suatu tindakan
kriminal di pengadilan maka qâdhi tidak serta merta menerima pengakuan itu
hingga ia yakin bahwa pengakuan tersebut lahir dari kesadaran orang tersebut.[1]
Pengakuan adalah dasar yang paling kuat ,karena itu ia hanya
mengena akibat hukumnya kepada pengaku sendiri dan tidak dapat menyaret kepada
yang lain.
B.
Sumpah
Berdasarkan
dasar Al Quran Al Baqarah : 84
وَإِذْ أَخَذْنَا
مِيثَاقَكُمْ لا تَسْفِكُونَ دِمَاءَكُمْ وَلا تُخْرِجُونَ أَنْفُسَكُمْ مِنْ
دِيَارِكُمْ ثُمَّ أَقْرَرْتُمْ وَأَنْتُمْ تَشْهَدُونَ
“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji
dari kamu (yaitu): kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan
kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu,
kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya.”(QS 2
: 84).
Diantara hak penggugat apabila ia tidak dapat membuktikan
gugatannya adalah mengajukan tuntutan kepada hakim agar menyumpah tergugat .Dan
apabila tergugat telah bersumpah ,maka selesailah persengketaan antara
penggugat dan tergugat ,seketika itu juga dan untuk masa mendatang [2]..Jika
tergugat menolak sumpah maka penggugatlah yang di sumpah .jika penggugat mau
disumpah maka diputuslah atas dasar sumpah penggugat itu dan jika ia menolak
sumpah maka ia dikalahkan.[3]
Adapun sumpah yang dilakukan itu setelah penggugat atau
tergugat diminta oleh qâdhi di pengadilan. Sumpah pihak penggugat atau tergugat
tidak sah jika tidak diminta oleh qâdhi. Demikian pula isi sumpah adalah
sebagaimana yang dimaksudkan oleh qâdhi bukan yang dimaksudkan oleh pihak yang
bersumpah. Ini didasarkan pada hadis Rasulullah saw.:
الْيَمِينُ
عَلَى نِيَّةِ الْمُسْتَحْلِفِ
”
Sumpah itu berdasarkan niat dari pihak yang meminta sumpah “ (HR Muslim)[4]
C.
Bayyinah
Bayyinah meliputi apa saja yang dapat mengungkapkan dan
menjelaskan kebenaran sesuatu[5].Menurut
jumhur ulama’ bayyinah sinonim dengan syahadah (kesaksian) ,sedang arti
syahadah yaitu keterangan orang yang dapat dipercayai didepan sidang pengadilan
dengan lafal kesaksian untuk menetapkan hak atas orang lain.[6]
Hukum memberikan saksi adalah fardhu kifayah , Al Quran
surat Al Baqarah : 283
… فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ
أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ…
“.
. . Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu
(para saksi) menyembunyikan persaksian. . . “(QS 2 : 283 )
Dan Al Quran Surat Al Maa-idah : 8
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ…
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi
orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. . . “(QS 5 : 8).
Dengan
kata lain, jika terjadi suatu perkara dan seseorang menyaksikan perkara
tersebut maka fardu kifayah baginya untuk memberikan kesaksian di pengadilan
dan jika tidak ada pihak lain yang bersaksi atau jumlah saksi tidak mencukupi
tanpa dirinya maka ia menjadi fardhu ‘ain. Dengan pemahaman ini seorang saksi
tentu tidak akan keberatan atau mangkir dari memberi kesaksian di pengadilan
sebab ia merupakan perbuatan yang bernilai pahala.
Selain itu, kesaksian harus didasarkan pada keyakinan pihak
saksi, yakni berdasarkan penginderaanya secara langsung pada peristiwa
tersebut. Diriwayatkan dari Rasulullah saw.:
إذَا
عَلِمْتَ مِثْلَ الشَّمْسِ فَاشْهَدْ، وَإِلاَّ فَدَعْ
“ Jika engkau mengetahuinya
seperti (melihat) matahari maka bersaksilah. Namun, jika tidak maka
tinggalkanlah ‘’(HR al-Baihaqi dan al-Hakim menurutnya sahih. Namun,
adz-Dzahabi men-dhâ’îf-kannya)
Pihak yang dijadikan saksi juga bukan sembarang orang, namun
hanya orang yang memenuhi kualifikasi tertentu yaitu: balig, berakal dan adil.
Sifat adil merupakan hal yang penting dalam kesaksian karena ia menentukan
integritas seorang saksi dalam menyampaikan kesaksian. Definisi adil adalah
orang yang tidak tampak kefasikan pada dirinya. Dengan kata lain, ia
menghindari perbuatan-perbuatan yang membuat dirinya(menurut pandangan
orang-orang)keluar dari sifat istiqamah.
Syariah juga telah menetapkan orang-orang yang tidak boleh
menjadi saksi yaitu: orang yang mendapat sanksi karena menuduh orang lain
berzina (qadzaf), anak yang bersaksi kepada bapaknya dan bapak kepada anaknya,
istri kepada suaminya dan suami kepada istrinya, pelayan yang lari dari
pekerjaannya serta orang yang bermusuhan dengan terdakwa. Penetapan layak tidaknya
seseorang menjadi saksi dalam sebuah perkara ditetapkan oleh qâdhi di dalam
pengadilan.
Jumlah saksi dalam setiap perkara pada dasarnya dua saksi
laki atau yang setara dengan jumlah tersebut, yaitu satu saksi laki dan dua
perempuan, empat saksi perempuan atau satu saksi laki-laki ditambah dengan
sumpah penuntut. Sebagaimana diketahui, dua orang wanita dan sumpah setara
dengan seorang saksi laki-laki. Meski demikian, syariah telah memberikan
pengecualian dari jumlah tersebut. Pada kasus perzinaan disyaratkan empat
saksi; penetapatan awal bulan (hilal) cukup satu orang saksi; dan kegiatan yang
hanya melibatkan wanita seperti penyusuan dengan satu saksi perempuan.[7]
D.
Dokumen tertulis.
Demikian juga dibenarkan pengakuan dalam bentuk dokumen tulisan ,mesipun
sebagian fuqoha’ tidak dapat menerimanya , dengan alasan bahwa dokumen tulisan
itu dapat tasyabuh (serupa)dan mungkin dapat dihapuskan.Tetapi disisi lain
Ahli-ahli ilmu meriwayatkan hadits atas dasar adanya riwayat (sanad)yag tertuls
dan dihafal.Kalau cara demikian itu tidak dapat dibenarkan tentu akan
sia-sialah sebagian besar hadits-hadits Nabi Saw.Serta hukum-hukum fiqih yang
berpindah-pindah diantara para ahlinya dengan alan tulisan.Sebagai mana halnya
Rosulullah saw. Telah berkirim surat kepada raja-raja dan lain-lainnya ,yang
dikirim lewat utusannya dengan dicap dan diperintahkan untuk disampaikan kepada
alamat yang tertulis.[8]
Dan
ada Hadits shahih yang berbunyi
ََعَنْ اِبْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- ; أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ
صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( مَا حَقُّ اِمْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُرِيدُ
أَنْ يُوصِيَ فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ
عِنْدَهُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu
bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Seorang muslim
tidak berhak mewasiatkan sesuatu yang ia miliki kurang dari dua malam (hari),
kecuali jika wasiat itu tertulis disisinya." Muttafaq Alaihi. ” [9]
Dengan itu penggunaan dokumen tertulis menjadi landasan yang
tak terpisahkan dalam perkembangan tsaqâfah Islam, seperti pada ilmu fikih dan
hadis.Dokumen setidaknya ada tiga jenis, yaitu dokumen yang bertandatangan,
dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara dan dokumen yang tidak bertanda
tangan.
Pada dasarnya dokumen bertanda tangan adalah sama statusnya
sama dengan pengakuan dengan lisan. Oleh karena itu, dokumen tersebut
membutuhkan penetapan. Jika seseorang mengakui bahwa tanda tangan yang tertera
dalam sebuah dokumen adalah miliknya maka dokumen tersebut sah dijadikan bukti.
Namun, jika ia mengingkarinya maka dokumen tersebut tertolak.
Adapun untuk dokumen resmi yang dikeluarkan pemerintah
seperti surat nikah dan akte kelahiran maka ia tidak membutuhkan adanya
penetapan terhadap keabsahannya. Oleh karena itu, dokumen langsung dapat
dijadikan sebagai bukti.
Adapun dokumen tertulis yang tidak bertanda tangan seperti
surat, pengakuan utang, faktur belanja dan sebagainya maka statusnya sama
dengan dokumen yang bertanda tangan, yaitu membutuhkan penetapan bahwa orang
tersebut yang menulis atau memerintahkan menulis atau mendiktekan tulisan
tersebut.
Dokumen yang dianggap valid menjadi alat bukti bagi
penggugat hanya diterima jika dihadirkan di pengadilan. Jika penggugat tidak
mampu menghadirkan dokumen yang dijadikan bukti tersebut maka ia dianggap tidak
ada. Namun demikian, jika dokumen tesebut berada di tangan negara maka qâdhi
memerintahkan untuk dihadirkan. Jika dokumen tersebut dinyatakan penggugat ada
pada tergugat dan diakui oleh tergugat maka tergugat harus menghadirkannya.
Jika ia menolak untuk menghadirkannya maka dokumen tersebut dianggap ada. Jika
tergugat menolak bahwa dokumen tersebut ada padanya maka ia dibenarkan kecuali
jika penggugat memiliki salinan atas dokumen tersebut maka ia harus mampu
membuktikan bahwa dokumen tersebut ada pada tergugat. Jika tidak dapat
dibuktikan maka tergugat harus disumpah bahwa ia tidak memilikinya. Jika ia
menolak bersumpah maka salinan dokumen tersebut dianggap benar dan menjadi alat
bukti bagi penggugat.
[3]Ini menurut pendapat kalangan Syafi’I dan Maliki yang
bersumber dari pendapat Umar bin khattab,Zaid bin Tsabit dan Ubay Bin Ka’ab
.Albaihaqi meriwayatkan dari Nafi’ dari Ibnu Umar ,Bahwa Nabi SAW. Pernah
mengembalikan sumpah kepada penggugat.
[5]Muahammad Salam Madkur.Op.,Cit.hal.123
[7]http://hizbut-tahrir.or.id/2010/01/01/mekanisme-pembuktian-dalam-peradilan-islam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar