Kamis, 14 Maret 2013

tata cara beracara dan alat bukti


Kel 9
Tata Cara Beracara Dan Alat Bukti
A.    Pengakuan
 Mengenai pengakuan pelaku hal ini didasarkan pada dasar Alquran yaitu Surat Albaqarah : 225
لا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
 “ Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”( QS 2: 225)
Yang dimaksud pengakuan yaitu mengakui adanya hak orang lain yang ada pada diri pengaku itu sendiri dengan ucapan atau yang berstatus sebagai ucapan ,meskipun untuk masa yang akan datang[1] .
Jika seseorang telah mengaku telah melakukan suatu tindakan kriminal di pengadilan maka qâdhi tidak serta merta menerima pengakuan itu hingga ia yakin bahwa pengakuan tersebut lahir dari kesadaran orang tersebut.[1]
Pengakuan adalah dasar yang paling kuat ,karena itu ia hanya mengena akibat hukumnya kepada pengaku sendiri dan tidak dapat menyaret kepada yang lain.





B.     Sumpah
Berdasarkan dasar Al Quran Al Baqarah : 84
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ لا تَسْفِكُونَ دِمَاءَكُمْ وَلا تُخْرِجُونَ أَنْفُسَكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ ثُمَّ أَقْرَرْتُمْ وَأَنْتُمْ تَشْهَدُونَ
“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu): kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya.”(QS 2 : 84).
Diantara hak penggugat apabila ia tidak dapat membuktikan gugatannya adalah mengajukan tuntutan kepada hakim agar menyumpah tergugat .Dan apabila tergugat telah bersumpah ,maka selesailah persengketaan antara penggugat dan tergugat ,seketika itu juga dan untuk masa mendatang [2]..Jika tergugat menolak sumpah maka penggugatlah yang di sumpah .jika penggugat mau disumpah maka diputuslah atas dasar sumpah penggugat itu dan jika ia menolak sumpah maka ia dikalahkan.[3]
Adapun sumpah yang dilakukan itu setelah penggugat atau tergugat diminta oleh qâdhi di pengadilan. Sumpah pihak penggugat atau tergugat tidak sah jika tidak diminta oleh qâdhi. Demikian pula isi sumpah adalah sebagaimana yang dimaksudkan oleh qâdhi bukan yang dimaksudkan oleh pihak yang bersumpah. Ini didasarkan pada hadis Rasulullah saw.:

الْيَمِينُ عَلَى نِيَّةِ الْمُسْتَحْلِفِ

 ” Sumpah itu berdasarkan niat dari pihak yang meminta sumpah “ (HR Muslim)[4]


C.     Bayyinah
Bayyinah meliputi apa saja yang dapat mengungkapkan dan menjelaskan kebenaran sesuatu[5].Menurut jumhur ulama’ bayyinah sinonim dengan syahadah (kesaksian) ,sedang arti syahadah yaitu keterangan orang yang dapat dipercayai didepan sidang pengadilan dengan lafal kesaksian untuk menetapkan hak atas orang lain.[6]
Hukum memberikan saksi adalah fardhu kifayah , Al Quran surat Al Baqarah : 283
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ
“. . . Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. . . “(QS 2 : 283 )
                Dan Al Quran Surat Al Maa-idah : 8
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. . . “(QS 5 : 8).
 Dengan kata lain, jika terjadi suatu perkara dan seseorang menyaksikan perkara tersebut maka fardu kifayah baginya untuk memberikan kesaksian di pengadilan dan jika tidak ada pihak lain yang bersaksi atau jumlah saksi tidak mencukupi tanpa dirinya maka ia menjadi fardhu ‘ain. Dengan pemahaman ini seorang saksi tentu tidak akan keberatan atau mangkir dari memberi kesaksian di pengadilan sebab ia merupakan perbuatan yang bernilai pahala.
Selain itu, kesaksian harus didasarkan pada keyakinan pihak saksi, yakni berdasarkan penginderaanya secara langsung pada peristiwa tersebut. Diriwayatkan dari Rasulullah saw.:
إذَا عَلِمْتَ مِثْلَ الشَّمْسِ فَاشْهَدْ، وَإِلاَّ فَدَعْ
 “ Jika engkau mengetahuinya seperti (melihat) matahari maka bersaksilah. Namun, jika tidak maka tinggalkanlah ‘’(HR al-Baihaqi dan al-Hakim menurutnya sahih. Namun, adz-Dzahabi men-dhâ’îf-kannya)
Pihak yang dijadikan saksi juga bukan sembarang orang, namun hanya orang yang memenuhi kualifikasi tertentu yaitu: balig, berakal dan adil. Sifat adil merupakan hal yang penting dalam kesaksian karena ia menentukan integritas seorang saksi dalam menyampaikan kesaksian. Definisi adil adalah orang yang tidak tampak kefasikan pada dirinya. Dengan kata lain, ia menghindari perbuatan-perbuatan yang membuat dirinya(menurut pandangan orang-orang)keluar dari sifat istiqamah.
Syariah juga telah menetapkan orang-orang yang tidak boleh menjadi saksi yaitu: orang yang mendapat sanksi karena menuduh orang lain berzina (qadzaf), anak yang bersaksi kepada bapaknya dan bapak kepada anaknya, istri kepada suaminya dan suami kepada istrinya, pelayan yang lari dari pekerjaannya serta orang yang bermusuhan dengan terdakwa. Penetapan layak tidaknya seseorang menjadi saksi dalam sebuah perkara ditetapkan oleh qâdhi di dalam pengadilan.
Jumlah saksi dalam setiap perkara pada dasarnya dua saksi laki atau yang setara dengan jumlah tersebut, yaitu satu saksi laki dan dua perempuan, empat saksi perempuan atau satu saksi laki-laki ditambah dengan sumpah penuntut. Sebagaimana diketahui, dua orang wanita dan sumpah setara dengan seorang saksi laki-laki. Meski demikian, syariah telah memberikan pengecualian dari jumlah tersebut. Pada kasus perzinaan disyaratkan empat saksi; penetapatan awal bulan (hilal) cukup satu orang saksi; dan kegiatan yang hanya melibatkan wanita seperti penyusuan dengan satu saksi perempuan.[7]
D.     Dokumen tertulis.
            Demikian juga dibenarkan pengakuan dalam bentuk dokumen tulisan ,mesipun sebagian fuqoha’ tidak dapat menerimanya , dengan alasan bahwa dokumen tulisan itu dapat tasyabuh (serupa)dan mungkin dapat dihapuskan.Tetapi disisi lain Ahli-ahli ilmu meriwayatkan hadits atas dasar adanya riwayat (sanad)yag tertuls dan dihafal.Kalau cara demikian itu tidak dapat dibenarkan tentu akan sia-sialah sebagian besar hadits-hadits Nabi Saw.Serta hukum-hukum fiqih yang berpindah-pindah diantara para ahlinya dengan alan tulisan.Sebagai mana halnya Rosulullah saw. Telah berkirim surat kepada raja-raja dan lain-lainnya ,yang dikirim lewat utusannya dengan dicap dan diperintahkan untuk disampaikan kepada alamat yang tertulis.[8]
Dan ada Hadits shahih yang berbunyi
ََعَنْ اِبْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- ; أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( مَا حَقُّ اِمْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِيَ فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ 
“Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Seorang muslim tidak berhak mewasiatkan sesuatu yang ia miliki kurang dari dua malam (hari), kecuali jika wasiat itu tertulis disisinya." Muttafaq Alaihi. ” [9]
Dengan itu penggunaan dokumen tertulis menjadi landasan yang tak terpisahkan dalam perkembangan tsaqâfah Islam, seperti pada ilmu fikih dan hadis.Dokumen setidaknya ada tiga jenis, yaitu dokumen yang bertandatangan, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara dan dokumen yang tidak bertanda tangan.
Pada dasarnya dokumen bertanda tangan adalah sama statusnya sama dengan pengakuan dengan lisan. Oleh karena itu, dokumen tersebut membutuhkan penetapan. Jika seseorang mengakui bahwa tanda tangan yang tertera dalam sebuah dokumen adalah miliknya maka dokumen tersebut sah dijadikan bukti. Namun, jika ia mengingkarinya maka dokumen tersebut tertolak.
Adapun untuk dokumen resmi yang dikeluarkan pemerintah seperti surat nikah dan akte kelahiran maka ia tidak membutuhkan adanya penetapan terhadap keabsahannya. Oleh karena itu, dokumen langsung dapat dijadikan sebagai bukti.
Adapun dokumen tertulis yang tidak bertanda tangan seperti surat, pengakuan utang, faktur belanja dan sebagainya maka statusnya sama dengan dokumen yang bertanda tangan, yaitu membutuhkan penetapan bahwa orang tersebut yang menulis atau memerintahkan menulis atau mendiktekan tulisan tersebut.
Dokumen yang dianggap valid menjadi alat bukti bagi penggugat hanya diterima jika dihadirkan di pengadilan. Jika penggugat tidak mampu menghadirkan dokumen yang dijadikan bukti tersebut maka ia dianggap tidak ada. Namun demikian, jika dokumen tesebut berada di tangan negara maka qâdhi memerintahkan untuk dihadirkan. Jika dokumen tersebut dinyatakan penggugat ada pada tergugat dan diakui oleh tergugat maka tergugat harus menghadirkannya. Jika ia menolak untuk menghadirkannya maka dokumen tersebut dianggap ada. Jika tergugat menolak bahwa dokumen tersebut ada padanya maka ia dibenarkan kecuali jika penggugat memiliki salinan atas dokumen tersebut maka ia harus mampu membuktikan bahwa dokumen tersebut ada pada tergugat. Jika tidak dapat dibuktikan maka tergugat harus disumpah bahwa ia tidak memilikinya. Jika ia menolak bersumpah maka salinan dokumen tersebut dianggap benar dan menjadi alat bukti bagi penggugat.








[1] http://hizbut-tahrir.or.id/2010/01/01/mekanisme-pembuktian-dalam-peradilan-islam/

[2] Muahammad Salam Madkur.Peradilan dalam islam.Surabaya.pt.bina ilmu.hal.135
[3]Ini menurut pendapat kalangan Syafi’I dan Maliki yang bersumber dari pendapat Umar bin khattab,Zaid bin Tsabit dan Ubay Bin Ka’ab .Albaihaqi meriwayatkan dari Nafi’ dari Ibnu Umar ,Bahwa Nabi SAW. Pernah mengembalikan sumpah kepada penggugat.

[4]http://hizbut-tahrir.or.id/2010/01/01/mekanisme-pembuktian-dalam-peradilan-islam/
[5]Muahammad Salam Madkur.Op.,Cit.hal.123
[6] Ibid.hal.124
[7]http://hizbut-tahrir.or.id/2010/01/01/mekanisme-pembuktian-dalam-peradilan-islam/
[8]Ibid.hal.124

[9] Muahammad Salam Madkur.Op.,Cit.hal.121

Tidak ada komentar:

Posting Komentar